Tahun 2019, mungkin sebuah tahun yang buruk untuk Selandia Baru. Negara yang tidak terlalu besa dan selama ini aman dan damai. Penduduk dengan tingkat intelektualitas tinggi dan sekuler namun menghargai perbedaan karena di negara itu hidup orang dari benua eropa, asia afrika dan orang lokal selandia bau yang disebut orang Maori atau suku Maori.
Karena standard pendidikan yang cukup tinggi di situ, maka banyak pendatang yang tinggal di sana dan sebagian menetap. Keyakinan mereka juga makin beragam. Yang semula banyak yang menganut agama Kristiani baik Kristen Protestan maupun Katolik, kini banyak yang menganut Budha, Hindu, Islam bahkan yang tidak beragama. Sehingga bisa dikatakan Selandia  baru adalah negara kaya, pluralis, berpendidikan, kaya dan nyaman.
Seperti yang saya katakan di awal, bahwa tahun 2019 adalah tahun buruk bagi Selandia Baru. Hal itu karena pada pertengahan Maret pagi hari, terjadi serangan teroris di masjid Al - Noor dan Linwood, Christchuch Selandia Baru. Media melapokan ada 49 orang meninggal dunia akibat serangan tersebut.
Meski Selandia Baru jauh dari Asia bahkan Eropa, namun tidak begitu dengan dunia maya dan teknologi. Dengan cepat peristiwa itu menyebar dan mengguncang dunia. Ironisnya, meski dengan upaya mengutuk atas peristiwa itu, aksi itu menyebar dengan cepat di belahan dunia yang berbeda sekalipun. Penyebaran video yang sedemikian itu membuat tujuan dari para teroris untuk menyebarkan ketakutan, bisa dengan mudah tercapai.
Bahkan video itu memprovokasi apa agama para pelaku teror dan agama apa korbannya. Sehingga video yang tersebar itu bisa menyebabkan kemaahan satu kelompok atas kelompok lainnya. Â Namun Selandia Baru adalah bangsa yang sangat dewasa. Meski yang merupakan korban adalah umat muslim, namun para penduduk kota tempat terjadinya tragedi terorisme itu memberikan atensi sedemikian besar dengan alasan kemanusiaan.
Ribuan orang Selandia Baru berkumpul di lapangan kota Christchurst untuk berdoa dan mengirim karangan bunga. Pengamanan ekstra saat salat Jumat pada minggu-minggu sesudahnya. Duka mendalam menjalar ke negara-negara lainnya. Dan akhirnya menjadi duka dunia. Seorang  pemuda Australia malah berani memecahkan telur di kepala Frasse Anning, anggota parlemen Queensland yang menuduh Muslim sebagai dalang utama dibalik tragedi teorisme itu.
Sikap pemuda dan anggota parlemen Quensland itu tentu saja dipengaruhi oleh teknologi yaitu media massa dan media sosial yang mengabarkan. Perlu di ingat bahwa jika kita ikut menyebarkan berita itu maka kurang lebih sama dengan kita ikut memprovokasi orang / dunia soal kejadian itu.
Berperanlah untuk perdamaian dunia dengan tidak menyebarkan berita itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H