Masih ingat debat Capres dan Cawapres pertama, beberapa waktu lalu ? Debat itu dimulai dengan lagu Zamrud Khatulistiwa yang menggambarkan kekayaan dan keragaman bangsa Indonesia. Negeri kaya yang layak dipertahankan oleh siapa saja yang menjadi warga negaranya.
Kita bersama tahu bahwa perhelatan Pemilihan Presiden merupakan perhelatan besar dan agung yang layak disambut dan dirayakan oleh sgenap warga Indonesia. Kita juga bersama tahu bahwa Negara kita ini memerlukan pemimpin kuat yang bisa mengatur dan berkinerja maksimal untuk Indonesia. Pemimpin yang memberi harapan nyata dan tidak hanya omong kosong.
Jagat informasi  menjelang Pilpres yang didominasi isu pilpres ini seakan menyita begitu banyak kepala untuk terus menerus mengikuti isu yang sengaja ditiupkan. Begitu berisik dan hingar bingar. Nyaris tanpa henti. Dari pagi ke pagi lagi. Melalui media sosial, media massa maupun dengan pertmuan-pertmuan langsung sesame teman yang kerap hanya membawa isu itu dalam percakapan. Dunia gaduh dan seperti hanya punya satu hal untuk diperhatikan.
Jika kita kaitkan dengan lagu Zamrud Khatulistiwa itu sebenarnya bermakna bahwa Negara kita yang kaya itu seharusnya dipenuhi dengan karya dan tidak hanya kegaduhan. Negara kaya akan hanya sekadar omongan jika kita tidak pintar mengolahnya. Dalam kerja, karya dan ucapan.
Debat pertama tempo hari membawa tema terorisme, HAM dan penataan hukum serta korupsi. Seharusnya memang menarik dibicarakan. Tapi memang empat tema berat itu memang sudah seharusnya tidak dibawakan dengan menggebu-gebu. Seperti debat yang kita lihat setiap minggu ditelevisi. Debat-debat seperti itu hanya untuk mengejar jumlah penonton dan berpengaruh pada penerimaan iklan televise.
Debat yang ditampilkan sebaiknya santun dan penuh esensi, bukan sensasi. Karena jika sensasi akan memberikan kesan bahwa dua pihak hanya ingin menyinggung aspek-aspek tak penting. Ibarat benda, mungkin hanya menyinggung printilannya. Hal-hal kecil yang menyeratainya dan bersifat sekunder bahkan tersier.
Yang mungkin bisa dipertajam ke depan yaitu relevansi antara pertanyaan dan jawaban karena pada debat pertama dua pihak belum memperlihatkan itu dengan baik. Relevansi sama dengan nyambung. Jawabab harus nyambung dengan pertanyaan.
Ke depan masih ada empat debat lagi. Kita berharap debat yang disajikan tetap santun dan dapat diterima oleh semua pihak. Lebih bernas dan tidak sekadar berisik agar menarik perhatian orang yang menonton.
Sama halnya dengan Zamrud Khatulistiwa itu, semua calon pemimpin dalam debat itu dan akan dipilih oleh rakyat pada April nanti dapat menjadi sinar seperti zamrud yang menerangi Negara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H