Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Karena itulah, tidak sedikit dari orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di pesantren. Tujuannya pun bermacam-macam. Yang jelas apapun tujuannya, si anak diharapkan mempunyai pemahaman agama yang benar, yang mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sejarahnya, pesantren memang selalu memberikan efek positif bagi negeri ini. Ketika era perjuangan, para santri juga ikut berjuang merebut kemerdekaan. Pada era itulah keluar resolusi jihad, yang diperuntukkan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Pada era itu pula, mati berperang dalam merebut kemerdekaan, dimaknai sebagai jihad. Karena setiap manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka, maka kemerdekaan harus diraih meski harus menumpahkan nyawa.
Di era milenial seperti sekarang ini, tentu saja tidak tepat harus menumpahkan darah untuk melakukan jihad. Ketika jaman dalam keadaan perang, menjadi tugas seorang muslim untuk melakukan jihad.
Dalam sejarah Indonesia, hal itu dicontohkan ketika masa kemerdekaan. Lalu, bagaimana jihad di era milenial seperti sekarang ini? Generasi jaman now memang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi informasi.
Di lingkungan pesantren pun, juga mulai mengadopsi perkembangan teknologi informasi, agar para santrinya juga menjadi santri yang melek informasi. Proses ceramah pun juga mulai marak dilakukan di media sosial. Perkembangan teknologi informasi, nyatanya juga mempengaruhi bagaimana upaya seseorang untuk membertebal imannya melalui ceramah online.
Persoalannya adalah, meski Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, dikenal dengan toleransi yang tinggi, serta kegotongrayongan masyarkat yang tinggi, faktanya bibit intoleransi, bibit kebencian dan bibit radikalisme masih ada di negeri ini. Dan bibit negative itu kini juga ikut merebak melalui dunia maya.
Sosial media yang banyak digandrungi anak-anak muda, telah berubah menjadi media penyalur kebencian. Bahkan, para pelaku terorisme di Indonesia akhir-akhir ini mengaku belajar tentang radikalisme melalui sosial media. Mereka belajar agama juga melalui dunia maya. Akibatnya, pemahaman yang mereka dapatkan hanyalah pemahaman yang dangkal menurut versi mereka sendiri.
Pada titik inilah, peranan santri di era milenial sangat diperlukan. Para santri di era milenial harus aktif menebarkan pesan kedamaian di media sosial. Jihad dunia maya harus digelorakan, agar tidak banyak generasi muda yang menjadi korban provokasi radikalisme dunia maya.
Dunia maya tidak boleh hanya diisi oleh generasi alay, tapi para santri pun juga harus ikut meramaikan media sosial, dengan nilai-nilai keagamaan yang benar. Para santri harus meluruskan pemahaman yang keliru. Karena tidak sedikit anak muda yang keliru memahami agama, sampai akhirnya terjerumus kelompok radikal dan teroris di dunia maya.
Bertepatan hari santri nasional pada 22 Oktober 2018 ini, harus jadi momentum untuk menggelorakan jihad milenial. Santri jaman now harus mampu meneruskan perjuangan jihad santri era lalu.