Budaya membaca di Indonesia memang masih belum sepenuhnya baik. Tidak sedikit masyarakat Indonesia, lebih percaya informasi orang lain atau kabar burung. Akibatnya, informasi hoax seringkali dianggap sebagai kebenaran. Padahal, informasi tersebut tidak jelas kebenarannya. Bahkan, informasi hoax seringkali senagaja dimunculkan untuk untuk membuat masyarakat bingung.Â
Dan ketika kebingungan itu melanda semua orang, akan mudah bagi oknum penyebar hoax untuk menggiring opini yang mereka inginkan. Dan pola semacam itu bisa kita rasakan saat ini. Semua orang berusaha mempengaruhi orang lain, agar bisa berdampak pada peningkatan dukungan pada saat pilkada dan pilpres 2019 mendatang.
Pesta demokrasi semestinya bisa menjadi pesta untuk memilih pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab. Namun kenyataannya, pesta demokrasi saat ini justru digunakan sebagai ajang untuk saling membenci dan menjatuhkan.Â
Provokasi di media sosial terus bermunculan. Narasi kebencian sengaja dimunculkan agar opini masyarakat bisa diarahkan. Agar masyarakat menjadi bimbang. Terlebih, budaya baca masyarakat kita belum sepenuhnya maksimal. Akibatnya, literasi media tidak merata. Cek ricek informasi minim terjadi. Sebaliknya, masyarakat mudah percaya perkataan orang lain, tanpa melakukan cek ricek untuk memastikan kebenaran informasi tersebut.
Cek ricek ini penting dilakukan di era perkembangan informasi yang begitu pesat. Apalagi perkembangan teknologi yang begitu cepat, membuat kita begitu mudah mengakses informasi dari mana saja dan kapan saja. Tidak hanya itu, melalui kecanggihan teknologi, informasi juga bisa menyebar begitu cepat.Â
Bahkan dalam hitungan detik, informasi tersebut sudah bisa menyebar kemana-mana hingga kebelahan negara lain. Karena kelebihan itulah yang kemudian disalahgunakan oleh oknum atau orang yang tidak bertanggungjawab, untuk menyebarkan paham radikalisme, untuk menyebarkan kebencian, hingga menyebarkan berita bohong.
Praktek semacam itu harus diputus dengan pendidikan literasi sejak dini. Seorang ibu tidak hanya memberikan kasih sayang kepada anaknya, tapi juga harus memberikan pendidikan yang berguna. Salah satunya adalah pendidikan literasi. Anak tidak boleh langsung percaya terhadap informasi yang dia terima. Anak harus aktif dan bersikap kritis terhadap apa saja.Â
Anak harus bertanya jika tidak tahu terhadap informasi yang dia dengar. Karena jika anak bersikap pasif, diam saja dan menerima informasi secara mentah-mentah, dikhawatirkan dia kan menjadi korban provokasi kelompok intoleran dan radikal.
Jika orang tua sudah membiasakan anak untuk melakukan cek ricek dan bertanya, budaya literasi akan melekat pada diri anak sejak dini. Anak akan mempunyai benteng yang kuat, untuk memfilter segala jenis informasi yang masuk. Sehingga segala bentuk provokasi dan narasi kebencian, tidak mudah mempengaruhi anak dan generasi muda. Ingat, kebencian merupakan bibit dari intoleransi.Â
Sedangkan intoleransi merupakan bibit dari radikalisme dan terorisme. Melalui pendidikan literasi sejak dini, secara tidak langsung kita telah turut menyelamatkan generasi penerus bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H