Aksi persekusi akhir-akhir ini memang meresahkan. Tidak hanya menyasar orang dewasa, aksi persekusi juga menyasar anak-anak. Tidak jarang para korban persekusi ini dilarikan ke daerah aman, agar terhindar dari aksi main hakim sendiri. Kondisi ini, seakan seperti ancaman dari kelompok intoleran. Jika sebelumnya kelompok intoleran begitu masif menyebarkan ujaran kebencian, saat ini mereka begitu aktif melakukan perburuan. Kali ini yang diburu adalah orang-orang yang memberikan komentar kepada orang yang dihormatinya.
Di Jakarta, Putra Mario Alfan, menjadi korban persekusi oleh sejumlah orang yang mengaku dari Front Pembela Islam. Anak berusia 15 tahun itu, diminta menandatangani permintaan maaf di atas materai. Tidak hanya itu, ancaman, makian dan tamparan, Mario juga diusir dari rumah kontrakan. Seperti kita tahu, FPI seringkali meneriakkan ayat-ayat suci dan mengklaim pimpinannya merupakan pimpinan umat Islam, faktanya perilaku yang ditunjukkan justru jauh dari ajaran agama.
Tidak hanya di Jakarta, korban persekusi juga terjadi di Solok, Sumatera Barat. Salah satu dokter di RSUD Kota Solok, Fiera Lovita, mengaku mendapat intimidasi dari anggota FPI. Intimidasi ini bermula dari postingannya di media sosial, terkait kasus yang menjera Rizieq Shihab. "Mereka menuduh saya sebagai pelacur penghina ulama, komunis dan PKI. Mereka menuduh saya murtad, semua caci maki dan ungkapan kebencian mereka tumpahkan ke saya,”katanya ketika memberikan keterangan pers di kantar LBH Jakarta.
Fakta diatas menunjukkan begitu mengerikannya praktek persekusi ini. Apalagi praktek persekusi justru terjadi di bulan Ramadan, sebuah bulan yang sangat ditunggu dan dihormati oleh umat Islam. Jika ormas yang selama ini mengusung nilai-nilai agama, tapi justru melakukan tindakan yang tidak mencerminkan nilai agama di bulan Ramadan, tentu sangat disayangkan. Padahal, Islam merupakan agama yang mengajarkan kedamaian. Rasulullah SAW selalu mengajarkan agar umat muslim saling menghormati antar sesama. Dalam konteks Indonesia, Islam yang dibawa Wali Songo di tanah Jawa, juga tidak pernah disebarkan melalui cara-cara kekerasan.
Meningkatnya aksi persekusi ini, membuat presiden Joko Widodo geram. Indonesia yang sangat toleran, justru dihiasi tindakan intoleran masyarakatnya. Sebagai warga negara yang baik, seharusnya ujaran dan perilaku yang dimunculkan, mempunyai manfaat yang banyak bagi masyarakat luas.
“Saling menyalahkan, memfitnah, membuat berita-berita hoax di media sosial itu tidak memiliki kontribusi pada negara ini," kata Jokowi ketika di Malang, pekan kemarin. Jika ujaran kebencian dan tindakan persekusi ini tidak segera disudahi, Indonesia akan hancur. Kenapa? pada 2030 nanti, Indonesia memiliki bonus demografi, dimana generasi mudanya lebih banyak dari generasi lainnya. Jika hingga saat ini semua orang gemar menebarkan kebencian, tentu akan bisa memecah belah persatuan dan kesatuan.
Indonesia, juga didominasi masyarakat muslim. Semestinya, Ramadan dijadikan sebagai bulan untuk introspeksi, untuk terus belajar, dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Bagaimana cara mendekatkan diri? Selain dengan memperbanyak membaca Al Quran, tapi harus berperilaku dan berujar sesuai ajaran agama. Dengan saling menghargai, saling menghormati, dan saling tolong menolong, akan mendekatkan diri pada perbuatan baik. Dan perbuatan baik itu, tidak hanya disenangi, tapi juga dianjurkan oleh Allah SWT. Bagaimana? Masih perlukan ujaran kebencian dan tindakan persekusi? Semoga bisa jadi renungan bersama. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H