Mohon tunggu...
intan rahmadewi
intan rahmadewi Mohon Tunggu... Wiraswasta - bisnis woman

seorang yang sangat menyukai fashion

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tingkatkan Kekuatan Penanggulangan Teorisme melalui Revisi UU No 15 Tahun 2003

9 April 2015   13:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_359917" align="aligncenter" width="600" caption="voaindonesia.com"][/caption]

Isu mengenai radikalisme, khususnya terorisme, memang masih memiliki dasar hukum yang kurang tegas di Indonesia. Jika kemudian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan beberapa revisi terhadap undang-undang yang menaunginya, yakni UU No 15 tahun 2003, saya rasa hal tersebut memang perlu segera ditinjau ulang.

Dalam UU mengenai tindak pidana terorisme tersebut, terdapat empat hal yang belum tercakup pembahasan hukumnya. Hal pertama adalah mengenai penetapan pidana terhadap perbuatan yang mendukung aksi terorisme. Hal kedua adalah mengenai perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan. Sedangkan hal ketiga adalah mengenai masuknya seseorang ke dalam organisasi terorisme, dan hal keempat adalah mengenai rehabilitasi pelaku terkait.

Untuk hal pertama, yakni mengenai penindakan terhadap perbuatan mendukung terorisme, umumnya baru sebatas penahanan sementara saja, itupun tidak lebih dari tujuh hari lamanya. Menurut saya, para pendukung terorisme ada baiknya menjalani penyidikan lebih lama, mungkin sekitar 10 hari, guna menggeledah lebih dalam informasi-informasi terkait aksi terorisme yang didukungnya. Waktu tujuh hari terasa cepat dan memperbesar risiko terduga mengelabui penyidikan. Kita perlu ingat bahwa terorisme adalah bentuk kejahatan transnasional yang sangat kompleks, sehingga membutuhkan waktu penyidikan yang intens.

Adapun mengenai hal kedua, saya melihatnya dari sudut pandang keterkaitan antara propaganda terorisme dan pertumbuhan pesat teknologi informasi. Saat ini propaganda dan saling adu lempat kebencian banyak terjadi di dunia maya karena kemudahan akses yang ditawarkannya. Otoritas pemerintah dalam menindak lanjuti terorisme di dunia masih lemah sehingga perlu dimasukkan ke dalam revisi undang-undang tindak pidana terorisme.

Sedangkan mengenai hal ketiga dan keempat, ada keetrkaitan satu sama lain. Ketika seseorang tergabung dengan aksi terorisme, baik sebagai simpatisan maupun anggota langsung, masih belum dijatuhkan dasar hukum yang jelas kecuali terbukti melakukan aksi yang merusak. Ironisnya, ketika simpatisan tersebut tertangkap, pemerintah justru menindak lanjutinya secara hukum satu arah. Ada baiknya jika tersangka terorisme difasilitasi untuk melakukan rehabilitasi guna mengembalikan mindset kebangsaan satu Indonesia.

Semoga rekomendasi untuk meninjau undang-undang terkait dapat segera diperhatikan oleh pemerintah guna meningkatkan ketahanan dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun