INSTITUT PEREMPUAN: Pekerja rumah tangga (PRT) menempati salah satu jumlah terbesar dari angkatan kerja di dunia. Realitas menunjukkan PRT rentan kekerasan dan pelanggaran hak-haknya. Kondisi yang sama juga dialami oleh PRT migran. Bersamaan dengan ini, DPR tengah membahas RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN). Dalam rangka mendiskusikan dan menggali masukan dari pihak penyedia layanan, INSTITUT PEREMPUAN dan Jaringan Gerakan Anti Trafiking Jawa Barat (JAGAT JABAR) mengadakandiskusi mengenai “Perlindungan Hak-Hak PRT dalam Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN” pada 6 Oktober 2012 di Desa Babakan Mulya, Kuningan, Jawa Barat.
Pada diskusi ini, peserta membicarakan berbagai masalah yang dialami PRT migran dan solusi perlindungannya. Forum membagi tiga fase yaitu fase pra penempatan, fase penempatan dan fase pemulangan.
Pada fase pra penempatan, khususnya pada saat perekrutan, peserta menyoroti masalah jeratan utang yang sering dialami PRT migran. Castra Aji Sarosa dari Forum Warga Buruh Migran Indonesia (FWBMI) mengungkapkan kasus yang sering dialami PRT migran yang bekerja ke Saudi Arabia. Menurutnya, majikan/pengguna jasa di Saudi Arabia sebenarnya telah menanggung semua biaya penempatan seorang PRT. Namun, seringkali PRT tidak mengetahui informasi ini dan mengalami pemotongan gaji dengan dalih bahwa potongan gaji tersebut untuk menutupi biaya penempatan yang telah dibayarkan PPTKIS. Tidak hanya itu. PRT migran yang bekerja ke Saudi Arabia berada pada situasi yang eksploitatif. Majikan yang telah mengeluarkan biaya penempatan mahal akhirnya menganggap PRT migran sebagai “telah dibeli”. Majikan dan keluarga majikan akhirnya berlaku sewenang-wenang, mengeksploitasi dan mengingkari hak dan martabat PRT migran.
Melihat persoalan ini, peserta merasa perlu mengusulkan adanya ketentuan mengenai keterbukaan informasi mengenai biaya penempatan PRT ke luar negeri, termasuk mengenai adakah biaya yang telah dikeluarkan calon majikan untuk mendatangkan PRT migran ke negara bersangkutan. Ketentuan ini harus pula tercantum dalam RUU PPILN yang tengah dibahas. PRT migran berhak untuk mengetahui informasi ini.
Ellin Rozana, INSTITUT PEREMPUAN, menambahkan bahwa informasi ini juga teramat penting diolah dan jika perlu, didiskusikan antara PRT migran dan pemerintah daerah (sebagai pihak yang melakukan penempatan PRT migran) agar PRT menyadari gambaran situasi lingkungan kerja yang akan dihadapinya. Ditambahkan pula, bahwa seandainya PRT migran mendapat gambaran yang lengkap, maka mereka setidaknya mampu mempersiapkan dirinya sebagai perempuan pekerja yang akan berhadapan dengan resiko situasi pekerjaan seperti itu. Namun tentu saja, mekanisme perlindungan dari negara tetap harus disediakan bagi mereka.
Mirisnya, yang umum terjadi selama ini, PRT hanya mendapat informasi terbatas dari pihak PPTKIS maupun dari mantan PRT migran yang telah kembali. Dengan keterbatasan akses mereka terhadap informasi yang akurat, maka tidak heran PRT migran hanya menggantungkan harapan terhadap kebaikan nasib. Dengan kata lain, negara sama sekali tidak hadir.
Pada fase penempatan, peserta menganggap penting adanya sistem perlindungan yang turut mencakup mekanisme verifikasi terhadap calon majikan serta daftar rekam jejak majikan. “Bahkan, jika perlu, jika majikan pernah melakukan kekerasan terhadap PRT, ia tidak diperbolehkan mempekerjakan PRT dari Indonesia”, sambung Ibu Maryati dari Paguyuban Buruh Migran Kuningan (BUMIKU). Castra Aji Sarosa juga mengusulkan dibukanya desk dari Perwakilan RI di Luar Negeri di setiap embarkasi. Hal ini untuk memudahkan calon PRT migran menghubungi Perwakilan RI.
Selain itu, dalam sistem perlindungan bagi buruh migran dan PRT migran, sudah seharusnya perlindungan ini juga melingkupi klaim asuransi PRT migran. Selama ini, PRT sering tidak menyadari keberadaan asuransi ini. Walaupun aturan hukumnya telah ada, masih sering ditemukan kasus dimana klaim asuransi tidak dicairkan sebagaimana mestinya terhadap PRT migran yang mengalami kekerasan maupun kematian. Castra Aji Sarosa menceritakan kasus perkosaan PRT migran yang tengah ditanganinya, dimana korban hanya menerima klaim asuransi sebesar setengah dari jumlah semestinya.
Dalam diskusi ini pula, JAGAT JABAR tegas menolak penempatan dan perlindungan PRT migran yang dilakukan oleh swasta. Pada RUU PPILN yang akan diundangkan, sebaiknya peran itu diambil oleh negara mengingat selama ini PPTKIS telah gagal. (*)
Demi Keadilan, Kesetaraan, dan Kemanusiaan,
For Justice, Equality, and Humanity,
INSTITUT PEREMPUAN - WOMEN'S INSTITUTE
Jl. Dago Pojok No. 85, Rt.007/Rw.03, Coblong, Bandung 40135
Jawa Barat, INDONESIA
Tel./Fax. +62.22.2516378
Email: institut_perempuan@yahoo.com
Website: www.institutperempuan.or.id, www.institutperempuan.blogspot.com
(http://www.thejakartapost.com/news/2008/12/22/personal-political-valentina-sagala.html)
(http://www.thejakartapost.com/news/2012/04/10/rotua-valentina-sagala-a-loving-feminist.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H