Mohon tunggu...
Institut Kemandirian
Institut Kemandirian Mohon Tunggu... -

Pejuang Kemandirian untuk dhuafa & pengangguran melalui pelatihan kewirausahaan dan ketrampilan tematik secara gratis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kegalauan antara Keinginan, Kebutuhan, dan Sinergisitas

19 Agustus 2014   17:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:09 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB dini hari, akhirnya sampai juga di Karawaci Tangerang. Dengan penuh kelelahan, setelah sampai di asrama kami bertiga bergegas membersihkan badan dan segera ambil air wudhu untuk menunaikan shalat Isya. Alhamdulillah perjalanan yang cukup melelahkan dari Kabandungan Sukabumi membawa cerita tersendiri bagi perjalanan tim pendamping Non Reguler Institut Kemandirian.

Daerah Kabandungan adalah salah satu wilayah yang dekat dengan proses penyulingan PT Chevron. jika dilihat dari potensi alamnya, memang daerah ini termasuk daerah yang sangat kaya akan ketersediaan sumberdaya alamnya. Disepanjang perjalanan penulis memperhatikan kiri kanan jalan penuh dengan tanaman sawit, singkong, teh dan juga sebagian umbi-umbian.

Kondisi tersebut, sebanarnya cukup mengherankan bagi penulis. Sebagaimana yang penulis ketahui, biasanya daerah yang dekat dengan proses penyulingan minyak, kondisi daerah biasanya panas. Seperti yang pernah penulis dapatkan di daerah Bojonegoro dan Tuban Jawa Timur.

Kondisi Tuban dan Bojonegoro yang sangat dekat dengan proses penyulingan minyak, berdampak pada kondisi udara yang panas. Sehingga udara segarpun nyaris terkontaminasi oleh polusi udara. Bukan hanya itu, hujan yang diharapkan dapat menyejukkan udara panas ternyata jarang turun. Walhasil Bojonegoro dan Tuban tetap panas.

Tuban, Bojonegoro dan Kabandungan Sukabumi memiliki Kesamaan sebagai daerah yang dekat dengan proses penyulingan minyak. Namun perbedaannya terletak dari keasrian alam sekitar. Penulis dapat melihat sepanjang perjalanan menuju Kabandungan kiri kanan jalan masih banyak pepohonan karet, teh, pohon singkong dan juga kelapa sawit belum lagi di samping jalan persisnya bagian bawah masih ada aliran sungai yang suaranya begitu menyejukkan jika kita melaluinya. Tetapi tidak untuk daerah Tuban dan Bojonegoro sepanjang pejalanan pepohonan tampak gersang yang ada hanyalah areal pesawahan dan bebatuah kapur.Serta ada beberapa jalan di Tuban yang sampingnya laut Sehingga hawa panas tetap semakin terasa.

Mengawali Semangat Perubahan

Kesamaan dan perbedaan dua wilayah antara Kabandungan Sukabumi dengan Tuban dan Bojonegoro sebenarnya tidak akan menjadi pembahasan yang mendalam dalam tulisan kali ini, semuanya perlu dikaji secara keilmuan dari perspektif kondisi iklim serta AMDAL dari proses produksi tersebut.

Hal lain yang ingin coba kita ketengahkan kepada pembaca adalah bagaimana semangat perubahan dari daerah-daerah yang dekat dengan proses penyulingan ini menjadi semangat yang mengajak pada perubahan Indonesia ke arah lebih baik.

Artinya, walaupun awal perubahan merubah kondisi lingkungan sekitar dilandaskan karena factor di danai oleh dana csr (corporate social responsibility) perusahaan atau sekedar karena dapat sekolah gratis sehingga kegiatan program pun di ikuti dengan semangat yang terpaksa ‘ daripada daripada tidak, ya mengisi kekosongan waktu untuk mengikuti pelatihan di Institut Kemandirian’.

Niatan salah diawal sebenarnya sudah merusak dari semangat perubahan itu sendiri. Keinginan untuk merubah diri, keluarga bahkan lingkungan sosialnya ternyata tidak datang dari kebutuhan sebenarnya. Sehingga proses sinergisitas pemeberdayaan hanya bersandarkan pada “ Anda Untung Kami Pun Untung”.

Kondisi tersebut seolah-olah di dua pihak ada bargaining position. Sehingga saling negosiasi untuk sebuah program pemberdayaan menjadi ‘proyek tersendiri dari orang-orang yang menungganginya. Bahkan menjadi pendapatan sampingan bagi orang/ormas yang asal bentuk dan sudah terbiasa mendompleng dari program yang digulirkan ke masyarakat sehingga aksinya seolah-olah menjadi pahlawan dimasayarakat/lingkungan tempat tinggal padahal tindak tanduknya secara tidak langsung merugikan masyarakat.

Dari niat ‘ Asal Ikut Menjadi Butuh Banget’

Semangat perubahan tentunya tidak akan kuat ketika niatnya tidak lurus. Terlepas dari tujuan dana csr sebuah perusahaan. Sudah sepantasnya kita sebagai insan manusia dan makhluk Tuhan yang paling mulia, melakukan segala sesuatu pun mestilah dengan niat yang mulia sehingga jalan mulia dapat dengan mudah kita raih.

Niat asal ikut hanya sekedar untuk mengisi kekosongan waktu bukanlah sikap yang terpuji dalam suatu perubahan. Karena perubahan dibangun di atas kebutuhan akan adanya kenyamanan dan mendapatkan rahmat dari Allah SWT serta perubahan hanya akan terjadi ketika ada kesadaran dalam memaknai kehidupan. Karena bentuk kesadaran individu dalam sebuah perubahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam memaknai eksistensi keberadaan manusia yakni bahwa sesungguhnya shalatku ibadahku dan hidupku untuk Allah SWT.

Pemahaman ini, akan menjadi dasar yang mendalam bahkan akan menjadi sebuah filosofi bagaimana kehidupan seorang muslim harus berada pada lingkaran yang terus memiliki nilai manfaat. Sehingga ketika pemahaman ini sudah menyatu dalam jiwa seseorang, maka setiap aktivitas akan dijadikan ibadah. Sehingga keinginan untuk terus bertambah ilmu menjadi bagian penting dalam kehidupan perubahan seorang manusia.

Asumsi inilah, yang seharusnya menjadi kekuatan bagi para pemuda pengangguran dalam merubah dirinya. Dana – dana CSR yang diberikan untuk membantu kemandirian para pemuda di sekitar perusahaan sudah sepantasnya dimanfaatkan untuk perbaikan diri. Tentunya dengan niat yang lurus sehingga pencapainnya pun mudah-mudahan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

Dari asumsi diatas pulalah, maka niat yang tadinya asal ikut akan luluh menjadi niat yang tulus dikarenakan adanya kebutuhan untuk merubah diri ke arah yang lebih baik. “ Bukankah Allah tidak akan pernah merubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubahnya” (al-hadits) bahkan dalam sebuah riwayat Mu’adz bin Jabal r.a berkata: “Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar tersebut, ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”

Proyek Kemanusian bukanlah Proyek Para Manusia

Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka. Namun realitas dilapangan, pendampingan sosial kadang di ambil alih oleh ormas/kumpulan yang mengatasnamakan komunitas peduli kesejahteraan desa (mereka biasanya bergerak tanpa ada koordinasi dengan mitra pemberdayaan yang sah).

Aksi mereka biasanya memiliki maksud mengambil keuntungan dari proyek pemberdayaan yang sedang berjalan. Seperti mengambil keuntungan finansial berupa barang/uang untuk dijadikan masukan dalam menjalankan organisasinya, padahal organisasi yang dijalankan oleh mereka sedang tidak sehat. Kasus ini kami dapatkan dengan adanya oknum yang mengatasnamakan komunitas menjual barang hibah kepada masyarakat untuk diambil uangnya menebus teman yang ada di sel penjara. Bukan hanya itu, tempat yang diamanahkan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dan ditujukan untuk alumni pelatihan malah dijadikan tempat kumpul/nongkrong salah satu komunitas. Sehingga alumni pelatihan tidak memiliki kenyamanan bahkan haknya merasa diberangus oleh komunitas tersebut. Walhasil pertumbukan kemandirian pemuda pengangguran di desa tersebut menjadi terhambat.

Padahal pemberdayaan seyogyanya membangun kembali proses-proses humanitas yang hilang. Proyek kemanusiaan menjadi sangat penting ketika sebuah lingkungan tidak ada aktifitas kehidupan ekonomi yang berarti. Roda perekonomian Negara akan digerakkan karena ada aktifitas ekonomi dari unit unit terkecil Negara. Namun, jika pertumbuhan ekonomi di suatu desa diganggu dengan adanya masalah lingkungan sosial, maka dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan bergerak sempurna.

Mari kita pahami kasus di atas, bagaimana hiruk pikuknya ormas/kerumunan yang mengatasnamakan komunitas berebut untuk mendapatkan cipratan dari program pemberdayaan. Padahal proyek pemberdayaan di lakukan untuk sebuah cita-cita mulia yakni mengurangi angka kemiskinan negeri ini dengan memberikan bekal keterampilan hidup bagi para pengangguran. Sehingga tahap demi tahap aksi program dipikirkan dengan matang. Sementara mereka hanya berpikir untuk mendapatkan uang yang menurut mereka itu adalah hak mereka karena dampak dari aktivitas perusahaan menjadi merugikan lingkungan. Sikap mereka ini lah kemudian disebut sebagai proyek para manusia.

Proyek para manusia memang berbeda dengan proyek kemanusiaan. Proyek para manusia memiliki maksud hanya sesaat dan tidak memiliki dampak yang berkelanjutan untuk orang banyak. Sedangkan proyek kemanusiaan menitikberatkan adanya program yang terarah, memiliki dampak yang berkelanjutan serta bekerja secara bersama-sama dengan stakeholders dan mitra lingkungan dalam mewujudkan perubahan kondisi kesejahteraan lingkungan sosial yang menjadi target sasaran.

Hal ini jelas bahwa proyek kemanusiaan bukanlah proyek para manusia dan bukan pula sebuah kerumunan orang. Proyek kemanusiaan mestinya merupakan sebuah gerakan yang selalu berupaya mendukung masyarakat miskin untuk mendapatkan hak aksesnya. Seperti akses pendidikan untuk mencerdaskan dan memiliki peluang untukbersaing, akses kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik serta akses untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

Jika sebuah mitra pemberdayaan tidak melakukan satu pun hal-hal diatas, maka dapat diartikan mitra tersebut hanya sebagai kerumunan saja yang tidak memiliki tujuan jelas. Dan kondisi tersebut memberikan pembuktian bahwa nilai-nilai humanitas nyaris hilang jika pemberdayaan dipegang oleh kerumunan orang yang tidak jelas (crowd).

Solusi Menghadapi Calo Pemberdayaan

Bangsa ini dibangun dengan semangat juang tinggi. Semua elemen bergerak dalam satu langkah menuju kemerdekaan yang hakiki atas nama rakyat Indonesia. Berbagai tipe penjajah sudah dilalui oleh bangsa ini. Tetapi, ternyata penjajahan baru muncul dalam bentuk neoimperealisme dan neokolonialisme. Baik dalam bentuk produk ekonomi sampai pada tingkat proyek pemberdayaan kemanusiaan. Pelakunya, adalah orang-orang yang merasa memiliki tetapi tidak pernah paham bagaimana yang dimilikinya ini dapat berdaya secara produktif untuk orang banyak. Pada umumnya mereka hanya mengatasnamakan rakyat miskin akan bersinergi untuk sebuah proyek kemanusiaan. Padahal mereka hanya mengambil jatah persenan dari dana program serta menjadi provokator seolah olah pejuang sejati dalam menyuarakan kemarginalan saudaranya dilingkungan tempat tinggal.

Orang / kelompoksemacam ini sering kita jumpai di daerah daerah yang menjadi target sasaran pemberdayaan terutama daerah yang dikeliling perusahaan yang memiliki dana CSR. Dan anehnya, mereka setelah mendapatkan jatah, ketika program selesai berkoar-koar meminta bagian lagi dengan dalih adanya program pendampingan lanjutan. Padahal entah apa yang dilakukan oleh mereka untuk melakukan pendampingan dimasyarakat.

Itulah topeng proyek para manusia yang memanfaatkan proyek kemanusiaan. Mereka tak jauh beda dari calo-calo yang menawarkan kebaikan padahal kebaikan itu mesti dibayar dengan persenan yang mereka tetapkan (pecundang). Jika kondisi ini terus berkembang diwilayah-wilayah pemberdayaan, maka dapat dipastikan proyek pemberdayaan akan mengalami hambatan secara simultan.

Padahal hakikat dari Pendampingan sosial bukanlah memanfaatkan situasi sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial tetapi pendampingan sosial secara bersama-sama dengan kelompok miskin melakukan aktivitas ; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (b) memobilisasi sumber daya setempat (c) memecahkan masalah sosial, (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.

Untuk itu, ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi siapapun terutama para pendamping lapangan ketika akan mengawali terjun langsung di lapangan agar terhindar dari calo pemberdayaan, yakni sebagai berikut:

1.Memahami wilayah sasaran

Yakni dengan memahami kondisi geografis/demografis serta kebudayaan setempat maupun sosial politik. Sebagai acuan apakah calo pemberdayaan tumbuh kembang di daerah sasaran.

2.Memahami Motif Calo Pemberdayaan

Calo pemberdayaan merupakan bagian dari kerumunan dengan bentuk kerumunan casual crowd dan acting crowd. Untuk itu alangkah baiknya kita memahami penyebab perilaku kerumunan. Menurut teori Le Bon bahwa penyebab perilaku kerumunan yakni

a)Anonimitas yakni unsur kebersamaan yang kemudian tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal hal yang tidak bertanggung jawab. Semakin tinggi kadar anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualitas para anggota kerumunan itu.

b)Contagion (penularan). Penularan Sosial (social contagion), adalah penyebaran suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disadari dan secara relatif berlangsung cepat. Penularan ini oleh Le Bon dapat dianggap suatu gejala hipnotis.

c)Konvergensi (keterpaduan). Yakni adanya keterpaduan motif yang sama dalam melakukan sebuah tindakan sosial.

d)Suggestibility (mudahnya dipengaruhi). Kerumunan biasanya tidak berstruktur, tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota.

Selain itu menurut Teori Smelser, menurutnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerumunan yaitu:

a) Structural conduciveness (struktur situasi sosial yang kondusif). Sebagian faktor ini merupakan kekuatan alam yang berada di luar kekuasaan manusia, namun sebagian merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial.

b)structural strain (ketegangan struktural). semakin besar ketegangan struktural, semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok sosial, etnik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan, misalnya, membuka peluang bagi terjadinya berbagai bentuk ketegangan.

c)growth and spread of a generalized belief (berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum). Dalam masyarakat sering beredar berbagai desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi suatu pengetahuan umum yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh khalayak.

d)precipitating factors (faktor yang mendahului). Faktor ini merupakan penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Yakni desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan

e)Mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan. Perilaku kolektif terwujud ketika khalayak dimobilisasikan oleh pimpinannya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjauhi suatu situasi berbahaya ataupun untuk mendekati orang atau benda yang mereka anggap sebagai sasaran tindakan.

f)The operation of social control (berlangsungnya pengendalian sosial). Faktor ini merupakan kekuatan yang menurut Smelser justru dapat menghambat, mencegah, mengganggu ataupun menggagalkan akumulasi kelima faktor penentu sebelumnya. Meskipun khalayak berada dalam situasi yang memudahkan perilaku kolektif, sedang mengalami ketegangan struktural karena adanya berbagai kesenjangan, telah meyakini kebenaran desas-desus yang beredar, telah didorong oleh faktor pemicu yang menunjang mereka dan telah dimobilisasi untuk melakukan perilaku kolektif, namun kehadiran suatu faktor pengendalian sosial seperti kehadiran aparat keamanan dalam jumlah besar atau kehadiran tokoh masyarakat yang disegani dapat menghambat atau bahkan menggagalkan perilaku kolektif yang akan dilaksanakan.

3.Jika dana CSR merupakan pesanan perusahaan maka tetap harus memastikan dana tepat sasaran.

Ruh dari sebuah pemberdayaan adalah tepat sasaran dalam penyaluran program bantuan. Prinsip ini memang agak sulit untuk di jalankan bagi lembaga/pendamping yang memiliki pesanan penerima manfaat seperti harus orang A, harus orang B (dan ternyata bukan dhuafa) dan sebagainya. Jika kita menghadapi masalah seperti itu, maka

a)Seorang pendamping dapat menyelesaikannya dengan cara mendekati stakeholders setempat untuk melakukan negosiasi ke pihak perusahaan dan orang yang menjadi pesanan penerima manfaat. Artinya kekuatan penokohan di suatu lingkungan masyarakat harus dijadikan mitra kerja yang berfungsi untuk melakukan pressure kepada pihak perusahaan dengan cara meyakinkan tentang tujuan pemberdayaan dan kondisi nyata kemiskinan desa. Dengan menyampaikan perlunya dukungan perusahaan kepada masyarakat yang dibidik tepat sasaran berdasarkan analisis sosial. Selain itu, pihak stakeholders pun akan memberikan jaminan bahwa beberapa orang yang dipesan perusahaan dan salah sasaran tidak akan complain.

b)Jika langkah diatas merasa sulit, maka pendamping dapat melakukan musyawarah di tingkat desa. Dengan menghadirkan seluruh tokoh masyarakat, unsur kemanan, pemerintah desa, ormas masyarakat desa dan tentunya pihak perusahaan. Pada proses musyawarah tersebut, pendamping dapat menjadifasilitator rapat dengan mengarahkan agenda pada kebutuhan dalam menjalankan program seperti dana harus tepat sasaran, dukungan semua elemen masyarakat, sosialisasi keberhasilan program dan yang terpenting adalah bangun sebuah musyawarah bahwa program ini berasal dari masyarakat dan hanya akan berhasil ketika seluruh elemen masyarakat bersatu padu mendukung dan mengawasi program.

c)Jika langkah satu dan dua tidak ada masalah, maka pendamping sebagai fasilitator musyawarah desa dapat langsung membuat sebuah berita acara/komitmen bersama untuk mensukseskan program yang ditandatangani berbagai pihak. Dan sebagai alat kontrol sosial maka dokumen komitmen (berupa jaminan dari seluruh elemen) dapat di tempalkan di kantor desa dan tempat kegiatan program. Sehingga jika ada gangguan (chaos) dari pihak yang mengatasnamakan ormas, maka secara langsung mereka dapat ditindak oleh masyarakat berupa sanksi sosial terhadap individu/ormas yang bermasalah tersebut.

4.Revitalisasi peran pendamping sosial.

Artinya setiap pendamping/lembaga sosial harus menghidupkan kembali pendampingan sosial sesuai fungsinya sebagai pendamping sosial. Yakni menjalankan pendampingan sosial sebagai proses pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya ada rangkaian tindakan sosial maupun intervensi sosial. Dan dalam proses ini, pendamping harus melibatkan seluruh elemen masyarakat. Kemudian dibentuk menjadi satu kesatuan dalam sebuah komunitas dengan mengorganisasikan diri untuk sebuah tujuan membuat perencanaan perubahan sosial berupa tindakan-tindakan kolektif masyarakat. Sehingga dapat memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki suatu masyarakat (modal sosial).

Itulah beberapa paparan yang dapat penulis torehkan. Walaupun Dalam kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara mudah, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan sebagai pendamping sosial. Artinya intervensi sosial pendamping dalam melakukan perubahan pada kasus yang dipaparkan diatas, akan menjadi sangat penting keberadaanya. Karena masyakarat membutuhkan fasilitator pemberdayaan agar segala tindakan sosial di suatu masyarakat dapat dilakukan secara terarah dan terencana dengan baik.

Untuk itu, Insya Allah dalam tulisan selanjutnya karena eksistensi pendamping ternyata memiliki peran yang tidak dapat dipisahkan dari suatu ruh pemberdayaan, maka pada tema tulisan selanjutnya penulis akan berusaha menuliskan peran penting pendampingan sosial dalam kesuksesan pemberdayaan masyarakat beserta beberapa contoh penulis ketika melakukan pendampingan di beberapa wilayah Indonesia.

Mudah-mudahan tulisan di atas, dapat memberikan nilai manfaat bagi siapapun yang memiliki ketertarikan dalam mengelola program pemberdayaan.Terutama program pemberdayaan yang didanai oleh dana CSR serta sering menghadapi banyak tantangan dan gangguan dari lingkungan sosial sasaran program.

Penulis adalah Rodiannauli Pane S.Sos seorang penggiat sosial pemberdayaan selama 12 tahun s.d sekarang dan supervisor program CSR di Institut Kemandirian Dompet Dhuafa.

www.institutkemandirian.org

[SC1]Beberapa Defenisi crowd dalam perspektif sosiologi 1) crowd berarti sejumlah individu yang berkumpul yang bersama. (Le Bon, The Crowd: A Study of the popular mind, 1985)

2) Menurut Kornblum crowd merupakan sejumlah besar orang yang berkumpul bersama dalam jarak dekat.

3) Menurut Giddens kerumunan adalah sekumpulan orang dalam jumlah relative besar yang langsung berinteraksi satu dengan yang lain di tempat umum.

Sehingga secara umum crowd dapat di definisikansebagai suatu perkumpulan antara diri sendiri dengan orang banyak yang dapat menimbulkan sifat panik, emosional, bahagia/senang, serta sifat yang mencerminkan perilaku tidak bermoral di mata masyarakat.

[SC2]Kerumunan sambil lalu

[SC3]Kerumunan bertindak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun