Mataram, NTB - (Kamis/24), tepatnya pukul 13.30, IRE menyempatkan untuk silaturrahmi ke rumah keluarga salah satu dari anggota IRE (modusnya halal bihalal, hihi). setibanya di sana, kita dijamu dengan menu seadanya, minuman berwarna bening (tak bersoda pastinya). di sela-sela obrolan kami, salah seorang anak, dengan pakaian merah putih yang merupakan anak kedua dari keluarga anggota IRE dan saat ini baru masuk SD tiba-tiba masuk mengucapkan salam khas anak-anak.
hal yang paling menarik bagi IRE adalah ketika anak tersebut mengajukan 4 permohonan berturut-turut kepada ibunya. "ibu, belikan saya jam tangan seperti ini, tas yang seperti ini, ipad, dan bando yah," pinta anak itu. "Nanti ibu pikirkan yah", jawab ibunya
mendengar hal tersebut sang Ibu hanya bisa tersenyum mengelus dada sambil memandang IRE. posisi orang tua yang memang sangat dilematis menghadapi situasi tersebut tentunya membutuhkan cara yang cerdas dan berkualitas untuk memberi pengertian kepada anaknya. "dilematis mas, kalau kita tidak penuhi takutnya dia minder di sekolah, kalau kita turuti juga salah" keluhnya kepada IRE
situasi seperti ini tidak hanya terjadi di satu atau dua orang tua saja, namun sering terjadi pada sebagaian besar orang tua khususnya yang menyekolahkan anaknya di sekolah yang notabene orang tuanya dari kelas ekonomi atas. pemenuhan kebutuhan anak sekolah yang sifatnya meningkatkan kualitas belajar atau pembelajaran baik di sekolah atau di luar sekolah memang sudah seharusnya. tetapi persoalannya kemudian adalah pemenuhan gaya hidup anak sekolah dan biaya pergaulan juga menjadi suatu hal yang dilematis. maka sangat wajar jika sebagian masyarakat khususnya orang tua sering mengeluh tentang sekolah yang berat di Ongkos.
dalam hal ini, budaya sekolah harus mengambil peran sebagai penataa dan kontrol interaksi antar siswa. guru sebagai komponen yang ditiru dan digugu harus peka terhadap interaksi sosial ini yang bisa berpotensi dalam mengganggu aktivitas belajar mengajar. jika tidak, maka sejak dini, siswa akan mulai memiliki sikap bersaing dalam gaya hidup dan bukan dalam berprestasi. disamping sekolah dan guru, tentunya menyikapi ini membutuhkan ketelatenan orang tua sebagai pendidik di rumah dalam memberikan pengertian dan penjelasan bijak terhadap anak agar mereka memahami diri dan lingkungannya. tetapi jika orang tua ikut terseret dalam persaingan gaya hidup tersebut dan menjadikan anak-anaknya sebagai poster dan baliho kekayaan dan kehebatan mereka, tentunya itu akan semakin merusak budaya sekolah dan interaksi siswa di sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H