Ada hal yang menarik berkembang di lingkungan kampus kota Bandung beberapa tahun belakangan ini. Keputusan untuk memilih perguruan tinggi setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah tentu bukanlah keputusan yang diambil asal-asalan. Orang tua yang ikut membiayai serta mengawal "aset-aset berharganya" untuk menggapai cita-cita, tentu juga memiliki andil yang besar dalam menentukan pilihan. Orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang hebat, mapan, dan sukses di kemudian hari. Langkah awal dalam meniti perjalanan suksesnya itu sudah pasti diawali dari pilihan hidupnya untuk menghabiskan hari-harinya untuk menggeluti bidang yang diminatinya. Pemilihan universitas bukan melulu masalah akreditasi, tapi juga gengsi dan lingkungan. Ada orang tua yang berjuang agar anaknya masuk perguruan tinggi negeri seperti UNPAD dan ITB karena memang kampus ini memiliki gengsi yang luar biasa tinggi di masyarakat, ada yang memasukkannya ke perguruan tinggi Islam seperti UIN dan UNISBA agar anak-anaknya bukan saja lulus dengan gelar ST, SE, SPsi saja, tapi juga memiliki pemikiran yang mendalam tentang Islam. Namun, ada juga yang memasukkan anak-anaknya ke perguruan tinggi kristen seperti UNPAR dan MARANATHA karena kualitas pendidikan yang ditawarkan memiliki citra positif di masyarakat meskipun sebenarnya anak-anak mereka adalah seorang muslim. Inilah fakta yang terjadi, ternyata dewasa ini stereotip masyarakat mengenai kampus kristen mulai berubah. Semula keberadaan kampus-kampus kristen di Kota Bandung seperti UNPAR dan MARANATHA memiliki kesan yang "berbeda" sebagai komunitas minoritas yang hanya berisi komunitas kristen dari suku batak dan tionghoa saja. Namun lihatlah sekarang, kampus-kampus tersebut sudah mulai diisi oleh mahasiswa-mahasiswa muslim, bahkan tidak sedikit yang menggunakan jilbab. Keberadaan mahasiswa muslim di kampus yang berasaskan kristen ini tentu menjadi perhatian yang menarik. Bagaimana sebenarnya nilai-nilai toleransi yang dijunjung oleh warga lingkungan kampus sendiri? Adakah konflik-konflik yang memungkinkan untuk tumbuh menjadi isu negatif mengenai perbedaan akidah ini? Di tengah hiruk pikuk media cetak maupun elektronik membicarakan mengenai konflik antarumat beragama, justru di kampus ini hidup berdampingan insan-insan dengan keyakinan dan latar belakang yang berbeda-beda. Berbagai isu-isu sensitif mengenai konflik antar agama disikapi santai oleh para mahasiswa. Karena para mahasiswa yakin bahwa keyakinan adalah hal yang paling privat. "Lakum diinukum waliyaddin" begitulah Islam mengajarkan. Toh, dikampus ini kami menimba ilmu-ilmu dunia, dan kami saling bersaing secara fair, tanpa peduli apa agama kita. Tapi bukan berarti mahasiswa-mahasiswa muslim yang ada di kampus-kampus kristen ini mengabaikan sama sekali kehidupan spiritualnya sebagai seorang muslim. Sebagai contoh, setiap hari Jum'at di kampus MARANATHA mengambil kebijakan untuk menghentikan kegiatan belajar mengajar  setiap jam 11-13 sehingga dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan ibadah shalat Jum'at bagi yang muslim dan acara kerohanian bagi ummat kristiani. Dialog mengenai agama dilakukan di mata kuliah fenomenologi Agama, tempat dimana kita beradu argumen secara objektif mengenai cara pandang dan keyakinan dari setiap agama yang bervariasi. Kami semua disini belajar akan arti sebuah perbedaan yang nyata. Dan ini adalah kenyataan, bahwa kita memang berbeda, tapi sesuai dengan lirik lagu band The Lucky-Lucky : meski kita tak sama bukan berarti kita harus bermusuhan.... :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H