Sejak kecil mereka mungkin telah diberi kesempatan untuk memilih mau sekolah di sekolah berbasis agama A atau B.Â
Mereka juga mungkin tahu beberapa ritual, doa, kebiasaan atau perayaan agama dari masing-masing orangtuanya, lalu dibebaskan untuk memilih agama yang hendak dianutnya. Dan mereka memilihnya secara sadar, sesuai ketetapan hati nurani atau pengalaman spiritual yang mereka rasakan.
Saya yang dari lahir sudah menjadi muslim, bisa jadi Islam saya hanya warisan sehingga kurang mampu menghayati makna agama Islam itu sendiri.Â
Akhirnya, saya salat ya sekadar salat, puasa sekadar puasa, sedekah sekadar sedekah, membaca Al-Quran sekadar membaca teksnya, tanpa mengetahui makna dari semua ibadah yang saya kerjakan. Secara kasar, bolehlah kita sebut "sekadar menggugurkan kewajiban" atau "sekadar formalitas".
Dari kegiatan tersebut saya jadi paham bahwa kesulitan yang dihadapi umat agama minoritas itu nyata.Â
Salah satunya ketika mereka harus menghadapi pertanyaan sensitif mengenai agamanya. Misalnya, umat Katolik yang sering ditanya apakah Tuhan mereka ada tiga (merujuk pada konsep Trinitas), apakah mereka menyembah patung Yesus dan Bunda Maria dan sebagainya.
Saya bisa bayangkan bagaimana bingungnya mereka saat ditanyai seperti itu.Â
Masih untung kalau mereka bisa menjawab dan orang yang bertanya memang ingin tahu. Bayangkan kalau pertanyaan tersebut ditujukan dengan maksud mengajak debat atau bersifat ofensif---untuk mengolok-olok keyakinan mereka. Â
Padahal Allah melalui firman-Nya dalam Surat Al-An'am ayat 108 melarang kita untuk mengolok-olok agama lain. Bukankah ini juga bagian dari toleransi?
Wasana Kata
Cara terbaik untuk belajar arti toleransi adalah melalui interaksi dengan orang-orang yang berbeda identitas dengan kita, baik itu berbeda agama, suku, gender, ras dan sebagainya.
Dari kegiatan dialog lintas iman saya jadi tahu kalau di agama lain juga ada puasa meski dengan syariat yang berbeda. Namun, satu kesamaan dari ibadah puasa dalam Islam dengan agama lain adalah tentang pengendalian hawa nafsu.