Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pesan dari Pemuisi

26 Februari 2022   15:33 Diperbarui: 26 Februari 2022   15:36 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sedang menulis

Ketika kulihat dirimu, rindu terasa di tengah kalbu. Aku Malu!

Membayangkan apa yang telah kulakukan. Tikus jalanan pun tahu. Aku Jahanam!

Ketika dirimu menyapaku sendu. Aku tak bergerak. Melihat kenyataan. Aku Bayangan!

Merindukan dirimu yang tak lagi bergetar, di atas tulisan berbalut debu.

Kekasih hati yang selalu menunggu. Atas cicilan rindu.

Dua hati yang tak lagi menyatu. Atas cinta yang tak pernah lunas.

Aku bersedih di samping nisanmu, Aku menangis di atas kuburanmu.

**

Puisi di atas ditulis secara spontan, pada saat saya sedang melirik grup perpesanan. Ada tantangan dari Mba Lesterina Purba untuk membuat puisi yang berjudul: Cicilan Rindu.

Entah mengapa jari langsung mengetik, dan jadilah karya tulis yang menggelitik.

"Puisi Umpatan! Emoh Aku, Yang romantis napa?" demikian komentar dari grup perpesanan.

Saya terhenyak sebentar, tulisan di atas jelas tidak mewakili perasaanku yang sedang duduk jaga toko. Suasana hatiku pada hari ini terasa biasa saja. Meski ada satu dua kesibukan yang bikin penat.

Katanya sih, penulis puisi adalah mereka yang paling jago menerjemahkan perasaan ke dalam bentuk kata per kata. Bak pelukis yang menorehkan kuasnya di atas kertas kanvas.

Lantas "puisi umpatan" yang kukeluarkan ini, apakah memang adalah refleksi hati? 

Rasanya bukan. Atau memang adalah perasaan berkecamuk yang sedang berada di alam bawah sadar. Mungkin saja.

Tidak usah dipeduli, karena bukan itu yang ingin aku bahas.

Di Kompasiana, saya adalah pemuisi dadakan. Hanya senang jika "sedang mood saja." (Meminjam istilah Kompasianer Ari Budiyanti).

Nah, beliau adalah salah satu pemuisi top di K. Ada pula deretan nama lainnya, seperti Fatmi Sunarya, Abdul Hama, Syahrul Chelsky, Ayah Tuah, Katedrarajawen, Indra Rahadian, dan Ikhlas Julak.

(Note; maafkanlah diriku yang tidak bisa menyebut nama lain satu persatu).

Puisi adalah seni dan pemuisi adalah seniman. Jadi, para pemuisi di Kompasiana pada dasarnya adalah seniman. 

Semoga saya tidak khilaf jika berasumsi bahwa mereka adalah "mahluk berbeda" dengan para penulis artikel lainnya.

Tulisan para pemuisi di Kompasiana enak dicerna, mengandung unsur lema dan rima kata dengan pemilihan diksi yang tak biasa.

Tidak lupa juga pemilihan judul, jumlah larik, jumlah baik, lema. Semuanya membentuk ruh dalam sebuah karya puisi.

Tidak ada penilaian "berlogika" dalam pembacaan puisi. Unsur batin digunakan untuk menginterpretasi "rasa baca" yang terkandung di dalamnya.

Gaya menulis ini bahkan berpengaruh pada artikel-artikel umum yang dibuat oleh para pemuisi K. Itulah yang membuat mereka berbeda.

Tapi...

Tidak semua orang bisa menulis puisi. Salah satu contoh adalah Kompasianer Widiatmoko. Dalam grup beliau berkata, "aku tidak bisa muisi."

Tapi, ada juga yang suka sok-sok muisi. Mau kelihatan hebat, tapi yang ditulis justru "bukan puisi." Untuk yang satu ini, Acek Rudy adalah contoh yang tepat.

Nah, tidak berlama-lama lagi. Kali ini Tim Inspiriasiana akan menghubungi ke-delapan nama di atas dan menantang mereka untuk membuat sebuah pesan dalam tiga kalimat bagi para calon pemuisi atau yang puisinya suka "tidak mateng." (Sekali lagi mengambil contoh dari Acek Rudy).

Yuk, kita simak;

Katedrarajawen --

"Begitu banyak kata yang ada, mengalir dari Samudra jiwa. Hanya perlu keheningan dan rasa. Kata-kata hadir mewarnai dunia."

Abdul Hama --

"Terserah kamu mau menulis puisi pakai kalimat yang rumit atau pake kalimat yang sederhana. Bebas! Ketika setidaknya ada satu pembaca yang tercubit hatinya, Puisimu itu sebenarnya sudah bagus."

Iklhask Julak --

"Alam terbentang, semua isinya jadi inspirasi dan kata-kata. Dengan rasa, kamu bisa menjadi apapun. Seperti menjadi tanah untuk menangkap basahnya hujan."

Ari Budiyanti --

"Menulislah dengan segenap hati, karena itu dapat melukiskan rasa. Setulus cinta pada literasi, ia akan menyentuh hati. Kekuatan untuk terus berkarya, dan bagi pembacanya."

Fatmi Sunarya --

"Tahukah engkau akan pelangi? Yang hadir setelah hujan. Indah meniti kala ragamu kepayahan. Begitupun saat engkau menulis puisi, akan indah membayang di langit nan tinggi."

Indra Rahadian --

"Takkan mati bila tak menulis. Takkan abadi bila mencatat. Namun, sampai kapan renjana menyesakkan itu busuk tersimpan?"

Ayah Tuah --

"Di sekeliling kita adalah kata-kata. Kita bisa menangkapnya menjadi puisi. Lewat kelembutan hati dan pengendapan rasa."

Syahrul Chelsky --

"Kau tidak tahu apa yang kulewati di malam hari agar bisa tidur, atau apa yang aku alami di siang hari sesudah aku bangun. Kau tidak tahu apa yang aku rindukan, atau apa yang hilang dariku. Kau tidak tahu."

Nah, puas? Acek belum puas kalau tidak mau ikutan, nih...

"Loyo, Lemah, Lesu? Suami adalah kunci keluarga harmonis. Jangan lupa, Obat Kuwat Acek solusinya. Hubungi Nomor khusus: 987654321"

Catatan: Diskon 90% bagi 9 pemesan pertama.

Sekian dan Terima Kasih.

**

Acek Rudy for Inspirasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun