Sahabat, ada satu puisi yang kuharap kau menyimpannya sendiri, ada waktu aku menghadirkannya hanya untuk kau nikmati saja. Beribu debu menimbuni kotak kenangan dalam tepian angan.
Seperti kesah yang kusandarkan di muka pintu rumahmu yang berwarna merah jambu, kawanku.
Kesah tentang kisah sebuah kotak usang yang berdebu, kulihat hanya satu di toko ujung jalan itu. Kotak usang ini sudah lama berdiri menunggu, namun tiada juga yang ingin memberikan.
Kutanya si pemilik toko, mengapa ia masih saja ada di situ dan dibiarkan berdebu?
Wanita berbadan lebar itu menurunkan kacamata kecil yang menempel di hidungnya, menatapku erat, lalu berkata dengan berat, "Tidak ada yang mau kotak usang itu. Kalau Kau mau ambil saja buatmu. Mereka yang sudah tahu selalu mengembalikannya padaku. Mengeluh, karena isinya hanya sebuah rasa yang ga seru."
"Rasa apa itu, Nyonya?"
"Rasa tulus, Kau mau? Simpanlah, bawalah pulang, aku masih punya banyak di gudang."
Aku pulang. Di perjalanan aku melihat sekejap, ternyata di dalam kotak itu ada sinar gemerlapan. Sinar ketulusan, kurasa. Lalu aku mengambilnya segenggam. Andai saja ada seorang yang tulus mau menerima begitu saja.
Kusandarkan sinar ini di depan pintu rumahmu. Sepulang dari kerja, mungkin kau akan mendapatinya menerangi  kamar kosmu yang penuh warna, pasti indah. Itu pikirku.
Aku mengetuk pintumu dan berlalu. Bersembunyi di satu sudut rumah di tikungan yang membentang. Sambil menunggu reaksimu jika tahu.