Saya dipersilahkan langsung ke belakang rumah. Beberapa bapak yang sedang menghangatkan badan dengan api menyambut saya. Adji memperkenalkan saya kepada mereka.
Saya melihat dua anak muda membuka karet. Mereka mengangkat paketan buku dari atas motor tadi. Diletakkannya di dalam rumah. Lalu, mereka terlihat sibuk menata ruangan 4x6 meter di sisi kanan rumah itu. Seorang menyapu. Seorang lagi mengecat tembok dengan cat warna putih.
“Itu ruangan untuk buku-buku. Jika terlalu sempit, anak-anak bisa membacanya di halaman rumah, di bawah pohon-pohon itu. Nanti dibuat bangku-bangku panjang dari bambu. Baru saja anak-anak pulang ke rumah. Tadi mereka tunggu sejak sore. Mereka sangat senang,” kata Adji.
Sambil disuguhi kopi, diskusi santai pun terjadi. Saya menghidu aroma arabica yang khas sejenak melepaskan lelah.
Saya memperkenalkan diri sebagai penghubung komunitas Inspirasiana-Kompasiana. Tak lupa saya menyebut niat komunitas ini untuk berbagi literasi melalui taman baca dan buku.
“Setelah sekian lama, rindu ini akhirnya mulai terwujud,” ujar Adji bahagia. Sebagai seorang mantan wartawan di Jakarta, ia sangat peduli terhadap gerakan literasi di Ngada, NTT. Namun, alasan minimnya sarana dan prasarana mimpi itu sulit terwujud.
Adji mengeluh. Di NTT dan Ngada khususnya, banyak sekolah dibuka. Tetapi tidak banyak memiliki perpustakaan dan taman baca. Sebab, Pemda melalui dinas terkait masih sibuk soal teknis administratif, seperti jam pelajaran, mutasi, dan gaji guru.
“Kita membeli buku dari Pulau Jawa. Ongkos kirim jauh lebih mahal dari harga buku. Ditambah, dinas terkait tidak mau direpotkan dengan urusan pengadaan buku-buku bacaan. Urusan gaji guru saja nombok, apalagi beli buku,” katanya mengeluh.
“Terima kasih banyak kepada komunitas Inspirasiana-Kompasiana yang telah mendatangkan buku-buku ini.”