Konon, di sebuah desa, hiduplah seorang petani beserta dengan istrinya. Mereka hidup begitu sederhana. Menyambung hidup dengan bercocok tanam dari sepetak ladang hibah dari sang Raja pun cukup membuat mereka merasa sangat bahagia.
Meskipun si petani ini mempunyai koneksi yang bisa dibilang dekat dengan Raja, namun ia tidak lantas menjadikan posisi warga terkasih sebagai satu hal yang membuatnya mendongak ke atas.
Bahkan, beberapa petak tanah pemberian Raja, karena ia dianggap telah memberikan kontribusi bagi kemajuan sistem agraris di kerajaan, telah dibagikan pada tetangganya yang miskin papa.
Rumahnya pun hanya kecil, berdiri dekat dengan ladang tempat ia bekerja.
Suatu ketika datanglah sahabatnya dari kota. Dengan penuh rasa sukacita diajaknya sahabatnya masuk ke rumah, dijamunya dengan makanan yang sederhana.Â
Sang sahabat bercerita panjang lebar tentang pengalaman hidup sebagai pengusaha. Saat usahanya berhasil, kemudian akhirnya ia kena tipu dan menjadi bangkrut.
Petani tersebut merasa iba, lalu diambilnya cangkul, dimintanya sang sahabat bekerja bersamanya di ladang. Dengan perjanjian nanti bila hasil ladang terkumpul, akan dibelikan sepetak ladang bagi sahabatnya.
Tetapi baru genap satu minggu, si pedagang mengeluh. Ia merasa ditipu oleh sang petani, karena ladang yang dijanjikan tak segera ia terima.
Begitu sedih hati sang petani melihat sahabatnya marah dan membuang cangkul serta berkata bahwa petani tersebut bukan sahabat yang benar.
Dengan segala kesabaran tingkat langit, petani tersebut membuka lemari. Diambilnya sebongkah batu permata ruby pemberian sang Raja. Satu-satunya harta yang sengaja ia simpan untuk ia berikan kepada orang yang membutuhkannya suatu saat nanti.
Ruby tersebut ia bungkus dengan kertas biasa. Tiada bungkus bagus yang ia punya. Hanya secarik kertas sederhana di meja kamarnya.