Hijau sejauh mata memandang. Pada hamparan lahan berselimut padi, berbaris apik di kaki bukit. Para petani mengayunkan langkah pulang di sore hari. Menunaikan pekerjaan mulia di sawah dan ladang.
Berpayung lembayung, Karsa memikul cangkul sambil bersiul menuju rumah. Rasa penat dan lelah hanya singgah. Baginya bekerja adalah ibadah.
Lima petak sawah warisan bapak, ia garap sendiri. Teman sebaya tak ada lagi yang mau turun bertani. Mereka memilih bekerja di kota. Tinggallah Karsa, bertani bersama orang-orang tua. Para sepuh dan renta dengan semangat melebihi anak muda.
Suatu hari, Karsa mendapati sawah milik Pakde Juman dipagari orang. Tak sampai seminggu, pagar kayu sudah berganti pagar beton setinggi dua meter. Penasaran, Karsa akhirnya bertanya pada Pakde Juman.
"Pakde, sawah sampean kok dipagari?" tanya Karsa.
"Wis dijual, Mas," jawab Pakde Juman.
"Oalah, kenapa dijual? Tak turun sawah bareng lagi, kita," ucap Karsa.
"Yo gimana lagi, Mas. Anakku baru lulus sekolah, minta dibelikan motor buat cari kerja. Aku ya terpaksa, bantu istri di pasar saja," keluh Pakde Juman.
Hari berikutnya, Karsa kembali melihat pekerja mengukur lahan dan memasang patok di sawah milik Haji Sobri. Delapan hektar luasnya dan persis berbatasan dengan sawah milik Karsa. Iapun menghampiri para pekerja, untuk bertanya.
"Mau dibangun apa ini, Mas?" tanya Karsa.
Mandor pekerja bernama Kusni menjawab, "ini mau dibangun kawasan pergudangan, Mas."