Beberapa kenangan itu menimbulkan bekas yang tak kunjung usai sehingga memicu penantian dan ekspektasi diriku. Ya, membuat potensi jatuh hati itu muncul. Sempat tidak merasakan apa --apa, tetapi ketika tekanan berat menghadap diriku, aku pun menyerah. Hatiku terkoyak.
Aku tidak menyalahkan siapapun, perihal kita berkisah itu terjadi seperti air mengalir. Namun, sayangnya diriku masih ragu air itu akan bermuara kemana?
Diriku takut hingga tak membiarkan air itu mengalir terus berlarut-larut. Takut, jikalau air tersebut bisa secara tiba-tiba menjadi badai yang bisa memporakporandakan tebing-tebing pagar di dalam diriku.
Hingga air itu akhirnya mengalir dengan tenang meninggalkan diri tanpa jejak. Diriku pasti akan merasa tumbang. Merasa kosong dan kehilangan percikan-percikan hangat yang datang perlahan menghantuiku. Aku merasa terisak dan akan menolak.
Maka, lebih baik sebelum waktu terlambat, aku akan mengubur perasaan ini dalam-dalam. Bagi diriku, rasionalitas harus lebih dominan dari pada rasa, agar diriku mampu keluar dari zona nyaman.
"Ya, persetan dengan rasa. Sudah tidak sanggup untuk mempercayai siapa pun. Menggali kedalaman akan sebuah hubungan. Ketika diriku merasa resah akan dipatahkan sebuah harapan."Â Â
Di sisi lain, aku sadar ketidakpantasan aku bercita-cita lebih membangun relasi dengan dirimu. Di situlah kepercayaan diriku mulai pudar.
Diriku mulai menciptakan sekat sekokoh baja agar berusaha menahan sesak ketika dirimu datang menghampiri dan mendekapku kembali. Kehangatan itu membuat hatiku luluh kembali.
Baik datang membawa sebuah hadiah yang istimewa bagiku berupa kasih sayang, perhatian yang tulus sehingga membuat diriku terikat akan dirimu.
"Arghh.....tidak boleh! Stop! Tidak boleh! Tidak boleh menembus batas pagar diri kukembali."
Kau begitu baik terhadap diriku yang lemah ini. Kau mampu menghancurkan hatiku seperti batu dan melunakkan perasaan ini. Terima kasih, dirimu sudah hadir berperan sebagai sosok yang mengayomi dan melindungi diriku.