Getar rindu menghantar diri menepi,
sejenak saja ingin kuterlena.
Kembali menikmati rinai sepi,
berjarak sejengkal dengan karusi.
Memeluk kalbu dalam gelak tawa,
bersandar dalam dekapan rona bahagia.
Menikmati senyum, damai dalam sapa,
di tengah belaian hangat keluarga.
Pelataran bersahaja itu menebar harum,
memudarkan seribu pesona kenikmatan maya.
Rengkuhan kasih sejati saudara,
mengikis batas gebyar astaka.
Sebuah ruang tanpa topeng, nikmatnya.
Tercipta karya dari untaian hati yang berpadu,
berlomba menghantar cinta untuk nusa.
Berlaksa cinta berbentuk jalinan aksara,
laksana lentera, suluh gulita.
Tarian jemari menggeliat, merasuki jiwa sang kalam,
liukannya memberi makna dalam sebuah literasi.
Sebuah ajakan meraih mimpi bersama,
mimpi menabur asa bagi nusa.
Catatan:
Karusi: penyakit yang ditandai dengan keinginan hidup hanya untuk bekerja, siang malam seperti robot, dan akhirnya membawa kepada kehidupan yang tertekan karena tujuannya untuk mengejar karier dan prestasi, jika tidak tercapai timbul depresi yang berakhir dengan bunuh diri.
Astaka: nama balai di istana (tidak berdinding, tempat upacara, dsb) tempat raja dihadap rakyatnya; balairung.
Kalam:Â sinonim dari pena, perkataan, kata (terutama bagi Allah).
Puisi untuk Inspirasiana, ditulis oleh N-174. Editor: A5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H