Mohon tunggu...
Suluh Muda
Suluh Muda Mohon Tunggu... Lainnya - Democracy And Human Right Research Institute

Lembaga sosial yang konsen pada kajian isu demokrasi dan hak asasi manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quo Vadis Demokrasi: Kotak Kosong Simbol Kekuatan Kartel Politik

1 September 2024   00:21 Diperbarui: 10 September 2024   00:51 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tempo.co

Pilkada merupakan sebuah wahana demokratis yang merupakan wujud kedaulatan rakyat yang berfungsi menyemai dan memilih pemimpin. Banderol Pilkada sendiri tidak murah, total sekitar Rp 41 Triliun anggaran negara digelontorkan untuk terselenggaranya pilkada 2024 yang distribusikan ke beberapa lembaga antara lain KPU, Bawaslu, Polri dan TNI. Menurut data dari KPU, total daerah yang mengikuti penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 adalah sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota, dengan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak pada Rabu, 27 November 2024. Namun ada yang ganjil dalam hal ini, setelah penutupan pendaftaran calon kepala daerah pada 29 Agustus 2024 pukul 23.59 WIB, tercatat ada 42 kabupaten, lima kota dan satu provinsi yang hanya diisi oleh calon tunggal.

Lalu muncul pertanyaan, dengan banderol Rp.41 Triliun, pemimpin macam apa yang akan lahir dari pilkada yang didalamnya hanya mengikutsertakan calon tunggal?

Ada tendensi beberapa elit partai politik di tingkat pusat melakukan praktik tukar guling kepentingan dan ada kecenderungan beberapa partai politik justru sebenarnya memiliki calon untuk maju di pilkada. Namun kemudian karena partai tersebut memiliki kepentingan di daerah lain, maka partai tersebut rela melepas tiketnya di satu daerah, agar bisa mendapatkan tiket di daerah lain. Hal ini kemudian berimbas pada konfigurasi partai politik di tingkat daerah.

Selanjutnya adalah modus memborong partai dengan tujuan melahirkan calon tunggal sangat mencederai nilai-nilai demokrasi dan menghina rasionalitas warga masyarakat. Pilkada sebuah pesta demokrasi yang merupakan sebuah manifestasi kedaulatan rakyat lambat laun bersalin rupa menjadi bencana demokrasi. Demokrasi semu semacam ini akan menghilangkan esensi pemilu sebagai instrumen menyemai dan memilih pemimpin bagi rakyat. Sadar tidak sadar, proses demokrasi seperti ini secara tidak langsung sudah merampas hak demokratis rakyat dengan cara hanya memberikan satu pilihan calon kepala daerah, sehingga hal ini membuat masyarakat tidak memiliki variabel calon pemimpin lain.

Kondisi ini juga yang menjadi salah satu indikator kegagalan mesin partai politik dalam mencetak kader berkualitas untuk maju dalam kontestasi. Alih-alih menjadi instrumen demokrasi yang memiliki fungsi sentral mencetak kader-kader berkualitas yang kompeten dalam mengelola pemerintahan dan memiliki komitmen menjaga demokrasi sesuai amanat UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagian besar partai politik justru bak kendaraan rental yang hanya dipergunakan sebagai prasyarat mengikuti kontestasi 5 tahunan, dengan proses kaderisasi yang abai terhadap meritokrasi bahkan cenderung mengarah pada perilaku feodal dan transaksionis.  Maka, wajar apabila publik memiliki persepsi bahwa kemenangan paslon tunggal dalam sebuah pilkada, membuat kepala daerah terpilih tersandera kartel politik dan berpotensi menjadi jongos bagi juragan partai, tanpa pernah merasa berhutang budi pada konstituennya.

Apabila kondisinya seperti demikian, tak berlebihan apabila kemudian muncul narasi permisif dari sebagian besar masyarakat dalam bentuk mainstreaming kotak kosong sebagai opsi alternatif bagi publik yang kritis terhadap kondisi hari ini. Rasanya KPU juga dinilai perlu memfasilitasi kampanye kotak kosong sebagai pilihan yang sah dan konstitusional jika hanya ada satu paslon. kotak kosong adalah sebuah pilihan yang diberikan bagi publik, maka dalam hal kampanye, selain memfasilitasi paslon tunggal dalam tahapan sosialisasi, KPU juga harus memfasilitasi kampanye kotak kosong. jangan sampai ada perlakuan berbeda, karena keduanya merupakan pilihan yang sah dan dijamin konstitusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun