Aku masih melewati jalan yang pernah di lewati kunang-kunang dan keremangan cahaya bintang dari bermacam galaksi yang pernah kau dongengkan untukku. Kau memberitakan kepadaku tentang isyarat bahwa jalan ini tak akan selamanya indah meskipun tiap hari kerlip menjadi ornamen wajib yang menciptakan atap berkilauan. Aku senang melewati jalan yang sama dengan yang pernah di lewati oleh kunang-kunang, dan diam-diam memperhatikan satu-persatu kerikil yang terinjak. Kau berjanji menyibakkan semak dan menyingkirkan bebatuan untukku, aku menunggu untuk itu. Tapi mungkin tidak semua kerikil dan batu dapat kau akrabi, mereka berbisik padaku tapi tidak padamu.
Kau masih kembali dengan membawakanku bintang yang kian cerlang setiap hari, hingga aku melupakan sejenak tentang batu-batu itu. Aku benar-benar lupa, hingga kakiku seperti mati rasa, terpesona oleh gugusan bintang yang kau sematkan pada pita berbentuk kupu-kupu pada kerudungku. Sambil terus berangan bahwa kupu-kupu itu akan bisa terbang dan memberi hadiah sebentuk senyum untukmu.
Pernah suatu waktu kau membawakanku senyum kunang-kunang, lalu aku menyambutnya dengan senyum kupu-kupu. Aku senang sekali, menyaksikan senyum terindah sepanjang hidupku, menciptakan warna baru pada pelangi yang mengakhiri senja bermendung di kota kita. Pernah aku bermimpi kau akan memiliki senyum itu sepanjang usiamu dan menghadiahkan kepadaku setiap hari. Tapi bebatuan mengingatkanku tentang jalan kunang-kunang yang mungkin akan kutinggalkan suatu waktu.
Begitulah, hati telah lama menanti sembari menyenandungkan lagu tentang negeri esok hari. Sedangkan nafas menari dengan geraknya yang gemulai mengikuti iring-iringan senandung hati. Berbalasan, menciptakan harmoni sebuah dongeng tentang kesederhanaan dan rasa yang belum mampu di terjemahkan ribuan kamus di bumi. Kadang mengalun pelan, kadang melesat, kadang timbul sesering munculnya embun pada pucuk daun kenikir di pagi hari. Tapi anehnya lelah menjelma sebagai gerimis yang tiba-tiba mendinginkan.
Jalan kunang-kunang menerangiku setiap hari dengan ribuan gugusan bintangnya yang berpendar memenuhi atap semesta hingga mendung tak tampak lagi. Ingin melewatinya dengan sisa tenaga pada kedua tungkai yang enggan lelah.
Surabaya, 20 September 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H