Menabikan pimpinan hanya akan mematikan nalar. Saya sepenuhnya sepakat dengan ungkapan itu. Namun memandangnya selalu dengan tatapan curiga pun bakal mematikan cinta. Dan benci pun akhirnya tumbuh merekah.
Sikap ideal dalam memandang dan menilai pemerintah tentu adalah sikap kritis. Tetapi bukan kritis yang mengedepankan rasa curiga sembari mengabaikan hal-hal rasional seperti objektifitas dan argumen ilmiah-empirik, terlebih jika sikap kritis tersebut syarat dengan muatan politis yang destruktif. Yang kita perlu tradisikan sebagai warga negara yang baik adalah sikap kritis terhadap langkah dan kebijakan pemerintah namun senantiasa on the track pada objektifitas dan argumen ilmiah-empirik dengan semangat praduga baik, yang dalam khasanah Islam disebut khuszudzon; suatu sikap tawadlu yang memposisikan pandangan positif di atas penilaian negatif.
Saat ini media riuh sekali mewartakan “program perdana” pemerintahan Jokowi yakni Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera yang dalam pelaksanaannya dibawahi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani.
Pendapat pun berseliweran antara yang pro dan kontra. Mereka yang menyepakati program ini alasannya sederhana saja--kira-kira seperti ini: program 3 kartu ini langsung menyentuh masyarakat, khususnya masyarakat bawah, dengan target program yang kasat sekali; meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memenuhi tiga kebutuhan dasar manusia: kesehatan, pendidikan, dan stabilitas keuangan domestik atau keluarga. Itulah mengapa program 3 Kartu ini masuk ke dalam program besar Goverment to Person (G2P). Tetapi mereka yang kontra dengan program ini pun mempunyai nalarnya sendiri, mulai dari propaganda pencitraan Jokowi sebagai recovery atas kebijakan pengurangan subsidi BBM, copy paste-tumpang tindih dengan program lainnya yang telah ada, hingga mempersoalkan dasar hukum dari program yang dikomandoi Puan Maharani ini. Narasi mereka cenderung jauh lebih kompleks dan kental sekali dengan nuansa konspiratif, prediktif, dan—tentu saja—politis.
Silang pendapat di domain publik merupakan hal yang lumrah dan itu justru merupakan ekspresi demokrasi yang sehat; terlebih dalam konteks penafsiran atas kebijakan publik yang diambil pemerintah. Sikap menyalahkan si liyan musti dihindari demi membangun sebuah tradisi diskusi publik yang konstruktif. Dan untuk kaitannya dengan isu program ini, ijinkan saya “membongkarnya” dari sisi opini saya pribadi dengan melandaskan pada argumen objektif-rasional dengan semangat khusnudzon dan netralitas kefaksian.
Pencitraan Presiden Jokowi
Saya haqqul yaqin tidak ada seorang pun yang dapat memverifikasi hal ini. Karena motif berada dalam diri seseorang, tak terindera, maka hanya Pak Jokowi lah yang benar-benar tahu apakah program ini lahir dari motif pencitraan politik ataukah justru ikhlas sebagai komitmen ia pada Trisakti yang diikrarkan dalam pidato kepresidenan pertamanya.
Andai kata benar bahwa program ini hanyalah upaya pencitraan dirinya, bagi saya pribadi itu sah-sah saja. Bahkan jika pencitraan yang dilakukan pejabat berkorelasi positif pada kinerja dan kesejahteraan masyarakat, maka pencitraan seperti ini perlu! Judgment pencitraan ini menurut saya tak perlu panjang dibahas karena selain bersifat prediktif, diksi “pencitraan” ini terlalu absurd untuk dibahas dalam diskusi rasional yang konstruktif. Alih-alih “menjelaskan”, praduga ini malah semakin mengaburkan fokus diskusi dan tak sedikit berujung di fitnah.
Dan—jika benar ini adalah pencitraan—maka pencitraan Jokowi-JK ini sukses sekali. Bukan sukses mencitrakan diri pro rakyat, tetapi sukses membangun citra figure yang konsisten karena program ini adalah janji yang pasngan Presiden-Wapres ini diumbarkan selama kampanye Pilpres sebelumnya.
Kompensasi Dari Pengurangan Subsidi BBM/Kenaikan Harga BBM
Awalnya saya pun berpikir seperti itu. Walau, sekali lagi, tidak ada salahnya mengalihkan anggaran negara dari yang asalnya diperuntukan hanya bagi beberapa gelintir warga saja (pemilik kendaraan bermotor) menjadi lebih luas peruntuknya (seluruh warga, terlebih warga miskin). Inilah yang dinamakan dengan Goverment to Person.
Tetapi ternyata tidak! Program 3 Kartu “sakti” ini tidak murni sebagai kompensasi dari pengurangan subsidi BBM karena secara kronologis pun dapat kita amati bahwa realisasi program ini jauh lebih awal dari kenaikan harga BBM yang bahkan sampai saat ini masih wacana (Menko pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani menjelaskannya di http://goo.gl/ssqLPe) dan statement menteri termuda ini selaras dengan pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar yang dimuat TribunNews (selengkapnya klik http://goo.gl/B8PD1K).
Bagi pihak yang kontra pogram karena berpraduga bahwa ini hanya political game (pencitraan publik) nya Jokowi-JK tentu narasi “kompensasi BBM” ini menjadi penting untuk membangun sebuah alur opini publik bahwa program ini tidak membantu amat karena harus mengorbankan harga BBM. Dan posisi score yang ditargetkan pun jelas: 1-1 (pemerintah boleh bercitra baik karena program ini tapi pemerintah pun harus mendapatkan rapor merah dari masyarakat karena menaikan harga BBM)
Tumpang Tindih Dengan Program Sejenis yang Telah Ada
Jika Anda betul mengikuti sosialisasi program ini maka Anda akan sepakat dengan saya bahwa program ini tidak sekadar copy-paste dari program sejenis yang telah ada, atau bahasa sinisnya hanya “program ganti nama”. Dari sisi sasaran program dan karakternya jelas mirip, namun sama sekali tidak sama--tanpa ada perbedaan sedikit pun. Saya menilai bahwa program 3 Kartu ini digagas sebagai penyempurnaan dari program sejenis sebelumnya. Di bawah akan saya detailkan beda dan penyempurnaannya:
Kartu Indonesia Sehat (KIS): Dalam APBN 2014 pemerintah membantu iuran (PBI) BPJS Kesehatan untuk masyarakat tidak mampu agar memperoleh jaminan kesehatan, JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dengan bukti kepesertaan berupa kartu (Kartu JKN). Melalui program ini, 86, 4 juta penduduk terakomodir. KIS digagas untuk menyempurnakan program sebelumnya (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, diantaranya: kategori sasaran program lebih luas, menjangkau gelandangan, masyarakat di panti sosial, dan bayi yg baru lahir. Dari sisi manfaatnya pun mengalami upgrading¸ tidak hanya untuk pelayanan pengobatan saja (reaktif) tetapi juga pelayanan kesehatan yang lebih holistik, meliputi: promotif, preventif, dan rehabilitasi.
Kartu Indonesia Pintar (KIP): Dalam APBN 2014 terdapat program BSM (bantuan siswa miskin) untuk 11,1 juta siswa dengan anggaran kurang lebih Rp 6 Triliun. BSM diberikan hanya kepada anak yg bersekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA. Di sini KIP menyempurnakan program BSM. Miaslnya dari sisi penerima manfaat atau bantuan. Dalam KIP, bantuan tidak hanya diberikan pada siswa SD, SMP, SMA saja (formal), namun bantuan diberikan juga kepada anak usia sekolah (keluarga tidak mampu) baik yg bersekolah maupun yang tidak bersekolah (sebagai motivasi kepada orang tua untuk memasukan anaknya ke fasilitas pendidikan). Dan tidak hanya terbatas pada siswa sekolah formal saja, tetapi sekolah non formal pun, siswanya yang dianggap layak, berhak menikmati bantuan ini. Yang terpenting adalah anak usia sekolah.
Kartu Keluarga Sejahtera (KKS): Program sebelumnya adalah KPS (Kartu Perlindungan Sosial) yang saat ini telah didistribusikan kepada 15,5 juta rumah tangga dalam klaster tidak mampu. Program KPS digunakan untuk menerima program Bantuan Langsung Sementar Masyarakat (BLSM) yang merupakan respon pemerintah dalam konteks upaya perlindungan sosial saat kenaikan harga BBM. Jika BLSM berbentuk bantuan tunai lansung, sementara KKS (Kartu Keluarga Sejahtera) diperluas manfaatnya yaitu sebagai rekening yang dapat digunakan tidak hanya untuk penyaluran dana pengalihan kenaikan BBM saja tetapi juga untuk penyaluran bantuan sosial lain sepertt bantuan pupuk, subsidi solar utk nelayan,dan berbagai bantuan sosial lainnya. Program jangka pendek Pemerintahan Jokowi-JK akan membagikan KKS kepada 15,5 juta rumah tangga tidak mampu sebesar Rp 200.000/bulan selama 2 bulan. Pembagian dana tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu 14,5 juta keluarga melalui giro pos dan 1 juta keluarga menggunakan sim card yang berfungsi sebagai rekening (E-money).
Payung Atau Dasar Hukum Program
Jujur, sebenarnya saya cukup geli mengamati narasi mereka yang kontra terhdap program ini sampai harus mempermasalahkan payung atau dasar hukum program mengingat program ini secara karakter dan target sasaran sudah begitu jelas ingin mensejahterakan masyarakat, yang mana hal ini sesuai betul dengan cita-cita konstitusi kita. Tetapi baiklah, toh memang ini harus clear dan derajatnya pun lebih rasional dibandingkan dengan isu pencitraan, sehingga layak untuk didiskusikan.
Payung hukum program KIP, KIS, dan KKS adalah UU APBNP 2014, sedangkan Inpres adalah Penugasan Kepada Kementerian Sosial sebagai Kuasa Pengguna Anggaran BA BUN APBNP 2014 dalam pos Dana Cadangan Perlindungan Sosial. (Inpres bukan dasar/payung hukumnya). Statement Menko PMK Puan Maharani terkait payung hukum dapat dibaca di http://goo.gl/FldSXL
Kini sudah terbongkar semua bahwa program 3 Kartu ini memang janji JKW-JK dalam kampanye Pilpres 2014 dan saaat ini telah “bekerja” via Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani dengan effort yang—kita saksikan bersama--begitu tinggi, terbukti dengan tepatnya waktu realisasi. Program ini bukanlah kompensasi dari kenaikan harga BBM, bukan pula copy-paste atau timpang tindih dengan berbagai program sebelumnya, dan berpayung hukum jelas; legal-konstitusional.
Penutup dari saya: jika kita mampu untuk mengkritisi, maka seyogyanya kita pun harus mampu memberi apresiasi. Terlebih ini kepada umara (penguasa) yang dalam Islam kedudukannya sama penting dengan ulama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H