Saya akan mengawali tulisan ini dengan harapan semoga diberikan pikiran yang jernih dan tetap objektif-berimbang dalam melihat dan menimbang posisi Puan Maharani di kabinet kerja Jokowi yang banyak menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Dan perlu digaris bawahi, saya bukan kader PDIP (faksi manapun,) atau orang yang mempunyai relasi kepentingan dengan Mba Puan. Tulisan ini hanya sebagai bentuk ikhtiar saya sebagai warga negara biasa yang ingin menciptakan sebuah diskursus publik yang sehat dan demokratis dengan mengedepankan akal sehat dan kesantunan.
Setidaknya, ada tiga parameter objektif utama dalam melihat kelayakan seseorang menduduki jabatan menteri: hukum (ini paling utama), etika (lebih kepada kepantasan sesuai dengan nilai yang berlaku dalam kultur masyarakat kita), dan profesionaitas (terlebih ini adalah kabinet yang dinamai “kabinet kerja” tentu sisi kemampuan kerja atau profesionalitas menjadi pertimbangan yang teramat penting untuk dimiliki seorang menteri). Di bawah, akan saya coba elaborasi ketiga paramater ini dengan narasi seefisien dan seefektif mungkin.
Hukum
Konstitusi kita telah mencantumkan dengan begitu eksplisit dan terang benderang bahwa yang mengangkat (juga memberhentikan) menteri (sebagai pembantu presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai kepala pemerintahan) adalah presiden dan hak tersebut bersifat prerogatif. Hal ini diatur dalam UUD 1945 BAB V KEMENTERIAN NEGARA Pasal 17 ayat 2 yang berbunyi: “Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.” Terkait dengan persoalan pemilihan menteri sebagai hak prerogatif presiden, hal ini diperkuat pula oleh UU 39/2008 tentang Kementerian Negara yang menyebutkan, pemilihan menteri (dan wakil menteri jika diperlukan) memang merupakan hak prerogatif presiden.
Dan syarat seseorang untuk menjadi menteri dijelaskan dalam UU 39/2008 Pasal 22 ayat 2 huruf a sampai f yang berisi: warga negara Indonesia; bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan; sehat jasmani dan rohani; memiliki integritas dan kepribadian yang baik; Dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Catatan: dari sisi hukum, Pak Jokowi sebagai presiden memilikii hak prerogatif untuk memilih siapapun sebagai menterinya sejauh memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam UU 39/2008 Pasal 22 ayat 2 huruf a sampai f. Dan kita semua tahu, Puan Maharani tidak terganjal oleh salah satupun persyaratan tersebut; dia beragama (Islam), tidak pernah terlibat dalam aksi makar dan gerakan separatisme manapun, sehat fisik dan psikis, berintegritas dan baik (dalam kasus kabinet kerja ini dibuktikan dengan lolos dari screaning KPK & PPATK) dan terakhir ia tidak pernah mendapatkan putusan pidana, apalagi pidana dengan ancaman minimal 5 tahun. Jelas sekali, dari sisi hukum, keberadaan Puan Maharani di kabinet kerja Jokowi clearly, tidak ada masalah!
Etika
Dari perspektif inilah Puan Maharani, dalam konteks jabatannya saat ini sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Budaya banyak disorot dengan isu nepotisme (anak Ketum dari Parpol-nya presiden); suatu diksi “karet” yang bisa ditarik ke mana saja sesuai dengan muatan kepentingan tertentu. Saya tidak ingin terjebak dalam diskursus ini karena semua argumen dan narasi yang diajukan oleh mereka yang kontra bersifat prediktif-subjektif dengan mengedepankan purbasangka dan penghakiman.
Bagi saya pribadi, suatu hal dapat dikatakan nepotis atau tidak hanya dapat ditentukan pasca beresnya kerja dan evaluasi, tidak berdasarkan dari pola relasi yang melatarbelakangi suatu hal tersebut terjadi. Bahasa sederhananya: Mau anak atau relasi siapapun dia, jika seseorang tersebut memang dianggap layak dan kompeten untuk mengemban suatu amanah tertentu, kenapa tidak? Justru kedzaliman yang terjadi jika orang yang berkompeten tersebut kehilangan kesempatannya hanya karena faktor “dia anaknya siapa”. Jika hasil evaluasi ternyata tidak menunjukkan hasil kinerja yang baik, maka pada saat itulah kita baru sah menduga bahwa itu memang nepotis. Tapi jika penilaiannya dilakukan bahkan sebelum orang tersebut mulai bekerja, menurut saya itu terlalu prematur dan tidak fair!
Sisi etika ini dapat kita lihat secara lebih kmprehensif ketika melihatnya dalam perspektif kapabilitas pribadi yang terkait dengan rekam jejak dan profesioanlitas yang akan saya urai di bawah. Tapi saya tergelitik untuk mengangkat cuitan Kahiyang Ayu, putri bungsu presiden (yang saya pikir suasana kebatinan ini akan dirasakan oleh semua anak penguasa yang kapasitasnya akan diuji secara publik) waktu ngetweet sesaat setelah ia mengikuti tes CPNS: “Lulus ujian=kkn, nggak lulus ujian=bego,”
Profesionalitas
Secara sederahana, profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya. Maka, kita tidak dapat mengukur profesionalitas tanpa melihat dan memperbandingkan dengan “tugas-tugas” yang akan ia kerjakan. Dalam konteks menakar profesionalitas (lebih tepatnya: potensi profesionalitaas) Puan Maharani sebagai Menko, kita perlu mengetahui dahulu tugas dari Menteri Koordinator.
Menteri Koordinator, adalah Menteri Negara pembantu Presiden dengan tugas pokok mengkoordinasi penyiapan dan penyusunan kebijaksanaan serta pelaksanaan dibidang yang berada dalam tanggung-jawabnya dalam kegiatan pemerintahan Negara.
Tugas Menteri Koordinator diantaranya adalah mengkoordinasi menteri-menteri pada kementerian terkait dan instansi lain yang dianggap perlu, mengkoordinasi penyusunan kebijakan, menampung dan mengusahakan penyelesaian masalah-masalah yang timbul dalam bidang koordinasinya serta mengikuti perkembangan keadaannya, melakukan koordinasi seerat-eratnya mengenai penanganan masalah-masalah yang mempunyai sangkut paut antar bidang koordinasi dengan para Menteri Koordinator lainnya, menyampaikan laporan dan bahan keterangan serta saran-saran dan pertimbangan dibidang tanggung jawabnya kepada Presiden. (Sumber: http://goo.gl/67uDV7)
Dalam nomenklatur yang saya kutipkan di atas, jelas sekali bahwa fokus Menteri Koordinator lebih kepada menjalankan fungsi koordinasi (antara menteri-menteri pada kementerian terkait dan instansi lain yang dianggap perlu). Jika dikaitkan dengan isu profesionalitas maka Menko yang menjabat harus memiliki setidaknya pengalaman dan rekam jejak positif terkait kemampuan koordinasi, khususnya dalam lingkup publik dan pemerintahan.
Walaupun memang Puan Maharani belum pernah menjabat sebagai Menko atau menduduki jabatan kepemerintahan tertentu yang bertugas mengkoordinasi lintas kementerian dan instansi, tetapi kita harus jujur melihat bahwa mantan ketua fraksi PDIP ini memiliki skill koordinasi yang cukup piawai dan keberhasilannya terbukti.
Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, berikut akan saya tunjukan beberapa pencapaian Puan Maharani di domain publik yang memiliki kaitan erat dengan fungsi koordinasi (paralel dengan tugas utamanya sebagai Menteri Koordinator):
- Waktu menjabat menjadi Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bappilu) PDI Perjuangan, Puan Maharani berhasil mengantarkan capres dari PDIP, Jokowi sebagai Presiden terpilih mengalahkan rivalnya Prabowo Subianto yang didukung oleh banyak partai koalisi. Tentu pencapaian ini mustahil terwujud jika tanpa dikoordinasi oleh seseorang yang tidak memiliki skill koordinasi yang mumpuni. Mengingat, banyak sekali pihak yang harus dikoordinasikan oleh Ketua Bappilu; mulai dari di lingkungan internal partai (dengan beragam faksi), partai koalisi dan jajaran relawan.
- Ketika menjabat sebagai Ketua PDIP Bidang Politik & Hubungan Antar Lembaga (HAL), berhasil mengawal PDIP menjadi Parpol pemenang Pemilu legislatif 2014 dengan perolehan kursi DPR RI terbanyak. Kita tahu, fungsi utama bidang HAL ini adalah menjalankan fungsi koordinasi antar lembaga internal PDIP yang cukup banyak dan heterogen.
- Berhasil memperoleh raihan suara terbasar nasional dalam pemilu legislatif 2014 dengan total suara pribadi 242.504 suara. Ini merupakan angka fantastis dan menurut perkiraan pribadi saya tidak mungkin dilakukan dengan menggunakan metode politik uang mengingat cost politik yang tidak akan mungkin masuk secara “hitung-hitungan”.
- Dalam periode 2009-2014, sebagai ketua Fraksi PDIP, Puan Maharani mampu mengawal konsistensi dan peran PDIP di parlemen dalam posisinya sebagai oposisi (lebih tepatnya penyimbang pemerintah). Lagi-lagi, keberhasilan PDIP ber-opisisi secara jelas dan konsisten ini merupakan hasil--diantaranya—keterampilan koordinasi Puan dalam melakukan lobi, komunikasi politik dan koordinasi lintas kepentingan.
Melihat deret rekam jejak ini, saya berpendapat bahwa Puan mempunyai potensi profesionalitas untuk menjalankan berbagai tugas Menteri Koordinator. Mengutip testimoni Wapres, Jusuf Kalla: Puan memang belum memiliki pengalaman di Kementerian. Namun, pengalaman Puan di bidang politik dinilai cukup untuk menjadi seorang menteri koordinator. "Ya tidak ada orang yang langsung berpengalaman, semua harus dimulai dari awal, tapi Puan kan sudah berpengalaman di DPR," (Merdeka; http://goo.gl/IcSfQt).
Setelah melihat dan menimbang secara holistik dari sisi hukum, etika dan profesionalitas, saya pikir tidak ada masalah bagi Puan Maharani menjabat sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Kita tunggu saja hasil kinerjanya di kabinet, apakah akan sesuai dengan ekspektasi Presiden (sebagai atasannya) dan masyarakat (sebagai objek yang dilayaninya) atau tidak? Dan jika ternyata tidak, baru kita berhak untuk “men-judgement-nya”. Mohon bersabar sampai pada waktunya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H