Untuk mencapai kemapanan, semua bangsa pasti pernah mengalami pergantian pemimpin dan rezim yang berbeda dlm kehidupan berbangsanya.
Indonesia pun tak luput dari perubahan-perubahan tersebut. Berbagai pemimpin dan rezim diterapkan yang tentu saja mengharapkan kemapanan tersebut. Mulai dari orde lama, orde baru dan orde reformasi sekarang ini.
Orde lama merupakan masa awal melangkah menapaki tatanan kebijakan sebuah bangsa, masih tertatih dan rapuh, dengan segala kelebihan dan kekurangan tentu.
Berganti dengan orde baru dengan perencanaan yg lebih matang dan terukur tapi penerapannya kadang tanpa kompromi (diktator), meskipun tanpa bisa kita pungkiri masa ini merupakan masa keemasan Bangsa Indonesia. Rezim ini pun harus berakhir akibat keserakahan para penyelenggara negaranya.
Tumbangnya orde baru membuahkan orde reformasi yang penuh harapan dan keterbukaan. Lebih dari 13 tahun pasca runtuhnya orde baru, semangat demokrasi kita semakin bergairah, masa keterbukaan dan mengeluarkan pendapat mencapai puncaknya. Namun semakin lama dengan atau tdak kita sadari kita malah terjebak dalam masa demokrasi yang kebablasan.
Bebasnya berbicara disertai pula bebasnya bertindak tanpa adanya aturan dan sanksi tegas. Sanksi yang diberikan selalu dianggap bisa dikompromikan, hal ini berlangsung pelan-pelan dan terus menerus, akibatnya tidak ada satupun simbol dan lembaga negara yang mempunyai wibawa untuk mengatur kesemrawutan ini.
Semua orang merasa mempunyai hak mengeluarkan pendapatnya, mempunyai hak untk bertindak, dan mempunyai hak untuk menentukan mana yang pantas untuk dirinya tanpa mempedulikan orang lain.
Intinya, harus ada yang menata kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita bagaimanapun caranya.
Saya tertarik mengutip ucapan seorang negarawan Kwik Kian Gie dalam acara Todays Dialogue Metro TV (18/10) menyikapi masalah ini.
'Satu-satunya jalan membereskan masalah negeri ini, seorang Diktator!'.
Begitu yakin dan tegas solusi yang diucapkan politisi senior ini.
Jujur saja saya menyetujui solusi ini. Namun apakah kita siap kembali menjalani masa-masa kediktatoran itu, atau memilih keterbukaan dengan tanggung jawab dan kesadaran masing-masing? Agak sulit bila kita sudah terbiasa tanpa aturan dan tindakan yang tegas.
Atau jangan-jangan kita memang perlu seorang DIKTATOR??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H