Apakah Hamil itu Beban?
Bayu Insani
Ini adalah obrolan nyata saya, di suatu malam bersama seorang ibu setengah baya yang sedang hamil tua, di bus malam antara Jakarta-Yogyakarta. Sebenarnya, ini bisa juga di bilang ngrasani aib seseorang. Namun tujuan saya menulis ini pun, agar bisa di jadikan pelajaran, baik bagi saya pribadi, maupun bagi teman-teman yang mau mengambil pelajaran dari catatan ini. Pada Ibu yang tak saya ketahui namanya, saya mohon maaf, dan semoga Allah mengampuni dosa saya, dan beliau.
Waktu itu, saya ke Jakarta, karena mendapat Undangan dari seorang penulis Senior, yaitu The Pipiet Senja, untuk bincang/ diskusi tentang BMI. Selain itu juga saya akan dibawa langsung ke RRI Voice Of Indonesia(VOI), dalam bincang bilik sastra. Namun karena perjalanan bis saya macet total di Jawa Barat, (tepatnya di Subang) selama 5 jam, akhirnya saya telat sampai di Jakarta. Saya ketinggalan dalam acara diskusi tersebut. Setelah saya sampai di rumah ibu, dan istirahat sehari, baru esoknya saya mengikuti acara di RRI, untuk bincang khusus di acara bilik sastra.
Alhamdulillah, baru pertama kali saya masuk ke gedung RRI tersebut. rasanya senang buanget. Apalagi bisa bertemu dengan kru dan penulis lain. Duduk dalam ruangan penyiaran, serta bernasis ria dengan mic dan microfon RRI. Hik hik….memang tukang narsis sih. Setelah acara bincang sastra selesai, saya bersama yang lain berfoto ria sebelum kami makan siang bersama pula. Apalagi saya merasa telah lama tak ngumpul bareng teman-teman sepulang dari Hong Kong.
Sorenya saya berpisah dengan kru RRI VOI, dan penulis Pipiet Senja serta Mbak Evatya Luna. Saya, ibu, dan adik pergi ke tempat lain, lalu pulang ke rumah setelah jam 9 malam. He he…..karena saya kurang betah tinggal di Jakarta, akhirnya, lusanya saya kembali ke Yogyakarta.
Nah, saat pulang itulah cerita ini saya dengar langsung dari ibu tersebut. Kami sama-sama naik bus AC malam waktu itu. Beliau duduk di bangku tepat di belakang saya. Bis melaju dengan cepat, dan tiba-tiba, setelah melewati beberapa jalan tol, di Bandung, bis bermasalah, putus gasnya. Terpaksa sang supir dan kernet membetulkan bis tersebut hingga benar. Perlu waktu lama, sekitar 1 jam kira-kira. Orang-orang dalam bus, terutama bapak-bapak pada turun. Ibu yang sedang hamil juga ikut turun. Beliau mau mencari toilet. Maklum, kalau bis sedang di perbaiki, toiletnya gak bisa dipakai. Beliau bingung, sementara bis berada di sawah. Kalau bapak-bapak ya berani aja buang air di sana. Ups….! Maaf. Emang kok, saya liat sendiri. Mereka gak malu pada berdiri. Tapi bagaimana dengan ibu hamil tadi? Beliau kebingungan.
Akhirnya, tak lama kemudian, bis jadi. Para penumpang kembali naik, dan ibu tadi masuk toilet. Nasib baik gasnya yang putus, coba kalau remnya. Seremmmm! Bisa bayangkan, kalau bis lagi ngebut tiba-tiba rem blong. Hiiiiii……! Duarrrr! Derrrr…..!. nabrak.com
“Saya sedang hamil tua, Mas. Jadi sering ke kamar mandi” Ucap ibu tersebut, pada penumpang di sebelahnya.
Pemuda di sebelahnya yang masih bujang, ya hanya menjawab, oh…oh, dan oh. Dia gak bisa ngobrol banyak. Mungkin karena malu, atau memang bukan pemuda type suka ngobrol. Yang jelas, obrolan sering saya dengar dari ibu hamil tersebut, daripada pemudanya.
Malam semakin larut. Sampailah kami di kota (mana kurang tahu) tapi masih di Jawa barat. Tak jauh dari Bandung. Bis yang kami tumpangi memasuki area parker di sebuah restoran besar. Pak Kernet memberitahukan pada kami, untuk turun dan rehat.
Kami berbondong-bondong menyerbu restoran tersebut. Saya dan adik, (Adik kandung) yang ikut main ke Yogyakarta, pun ikut turun dan memburu makanan panas. Maklum, perut kaku, dari tadi kedinginan oleh AC yang rusak. Gak bisa di kecilkan ACnya. Nasib…!
Mie Bakso yang tadinya hanya 4 atau 5 ribu, jadi 10 ribu. Gak papa, yang penting panas! Ibu hamil tadi keluar dari toilet, lalu ikutan pesan semangkuk bakso. Beliau duduk di bangku depan saya.
“Dingin sekali ya Mbak” sapanya pada saya.
“Iya, Bu. AC di bangku saya malah rusak” jawab saya. Beliau ngelus perutnya yang besar.
“Sudah berapa bulan, bu?” Tanya saya padanya. Beliau sudah ibu-ibu separo baya, jadi demi menghormatinya, saya panggil beliau ibu. Orangnya luwes, dan rambutnya sebahu. Bibirnya hitam seperti suka ngrokok gitu.
Sambil nunggu pesanan bakso datang, ibu hamil ini sepertinya ingin ngobrol banyak lagi dengan saya. Mungkin tepatnya curhat. Saya pun duduk dengan manis. He he….padahal kedinginan. Obrolan kami lanjutkan. Obrolan ringan, TAPI menyeramkan.
“Sudah hampir 9 bulan Mbak. Saya juga heran dengan bayi yang ada dalam kandungan saya ini” ucapnya. “Lho kenapa Bu?”
“Sejak usia 4 minggu, sebenarnya saya sudah nggak mau dengan bayi ini. Maklum, jaraknya sangat jauh dengan anak saya yang pertama” Ucapnya lagi. Saya mengernyitkan dahi
“Lho, memangnya jarak anak jadi masalah Bu?” tanya saya. Mungkin agak konyol. Ya,
“Anak saya sudah kelas 3 SMA Mbak” jawabnya.
“Oh, gitu. Lha suami ibu bagaimana? Apa nggak mau jugadengan bayi ini?”
“Suami saya orang Malaysia Mbak”
“Kok gak ikut pulang Bu?”
“Nggak, soalnya jauh” jawabnya lagi. “Sebenarnya, saya sudah berusaha untuk ngilangin bayi ini. Tapi kok susah yah. Mungkin Allah sudah mentakdirkan bayi ini lahir kali ya” ucapnya. Obrolan tertabrak tukang bakso dengan 3 mangkok di nampan untuk kami. Kini saya yang merasa aneh dengan obrolan ibu hamil ini. Dalam hati, saya beristighfar.
“Sudah banyak cara, biar bayi ini bisa gugur. Dari makan obat, nanas hijau, minuman keras, daging kambing dan lain-lain, tapi tetap saja nggak gugur. Bahkan, saya hampir habis uang 9 jutaan, buat ngilangin kandungan ini, tapi tetap saja nggak bisa. Terakhir, setelah kandungan 7 bulan, saya mendengar di Jakarta, ada orang pintar, (dukun/tabib semacamnya) yang mampu memindahkan penyakit ke tubuh hewan. Dia juga bilang bisa mindahin kandungan ke badan orang lain. Saya temui orang itu. Katanya, sanggup mindahin kandungan saya ke badan orang lain. Dia minta 4 juta untuk melakukan ini”. Sampai di sini saya kaget bukan buatan. Adik saya menatap saya. Juga lelaki di belakang saya, dia sempat melirik ibu hamil ini. Sepertinya, bicaranya tanpa merasa bersalah. Astaghfirullahal adzim…..
Bakso di mangkuk jadi terasa hambar. Tapi karena lapar, saya terpaksa telan.
“Awalnya saya kasih 2 juta. Seminggu kemudian saya lunasi. Anehnya, bayi itu tetap dalam perut saya. Nggak pindah kemana-mana”
Masya Allah…! Teganya, seorang ibu yang sedang mengandung anak, kok berkata demikian. Saya elus-elus perut saya yang belum Nampak sedang mengandung. Nau’zubillahi mindzalik…..Sungguh, ibu yang kejam, batin saya! Habis geram banget dibuatnya.
“Ya, mungkin memang harus saya lahirkan kali, ya Mbak?” ucapnya. Pikiran saya udah penuh. Gak bisa mencerna lagi jalan pikirannya. Oranglain, berjuta-juta rupiah hanya untuk memiliki anak/keturunan di sanggupi. Tapi Ini, 9 jutaan, hanya untuk melenyapkan buah hati dari rahim sendiri. Ya Allah….! Naluri saya sebagai calon ibu rasanya kok tak terima dengan kelakuannya. Saya yakin, Anda yang mendengarnya, juga geram dengan kelakuan ibu tersebut.
“Ah ibu. Orang lain mati-matian inginkan anak, malah ibu mau membuangnya. Dosa lho Bu” kata saya
“Iya Mbak. Saya ini memang pendosa” jawabnya. Namun kata-katanya seolah tak di iringi rasa sesal, atau perasaan bersalah. Aneh…! “Entah Allah bisa memaafkan saya apa nggak. ”Kalimat itu, menguap ke udara.
Sang kernet mengumumkan keberangkatan. Kami membayar bakso. Sambil berjalan kearah bis, kembali saya bertanya.
“Jadi rencananya, ibu mau melahirkan di Jawa, nih?”
“Iya, Mbak. Lebih aman”
Setelah itu, kami kembali duduk di bangku masing-masing. Antara geram dan sedih. Saya kembali mengelus perut. Saya tak cerita, kalau saya pun sedang mengandung, hanya saja belum terlihat besar. Masih 15 mingguan. Past ceritanya juga lain. Sebab saya merasa kebahagiaan yang tak terkira. Apalagi, jarak anak saya yang juga lumayan jauh. Hampir 13 tahun, dan kini saya kembali diberi amanah untuk mengandung anak ke dua. Anugerah dari Allah SWT, bagi saya yang tiada terkira. Bukankah seharusnya kita bangga, bisa menjadi seorang ibu. Bukan sebaliknya.
Kembali saya disugukan dengan dugaan2 aneh oleh ibu tadi. Beliau di telpon oleh seorang wanita. Di tlp beliau menjawab dengan nada marah
“Dari kemarin tak SMS, tak telpon, kamu nggak merespon. Sekarang, aku sudah menyepakati melahirkan di rumah ibu (…..) malah kamu berharap supaya aku melahirkan di rumahmu. Ya wes telat! Opo aku kon ngurungke. Apa kata beliau. Aku iki uwong sing plin plan. Iki salahmu! Wes ojo telpan telpon aku. Pusing aku…..bla…bla….!” nadanya marah-marah.
Beliau agak mewek. Mungkin marah dengan orang di seberang. Tersirat dalam pikiran saya. Apakah bayi ini akan di perebutkan? Sebab beliau tak melahirkan di kampungnya sendiri, melainkan di tempat oranglain?
Banyak sekali dugaan2 dalam otak saya. Apakah benar cerita tentang suaminya yang orang Malaysia? Jika iya, mengapa membiarkan istrinya berbuat demikian? Apakah bayi ini hasil hubungan gelap? Mengapa harus takut ketahuan hamil sama keluarganya? Saya juga jadi bertanya-tanya sendiri. Apakah hamil baginya adalah beban?? Ya Rabb…..
Masih bernasib baik karena beliau duduk di bangku belakang saya, coba kalau kami sebangku, mungkin beliau akan terus bercerita dan bercerita tentang hal lain. Sebab sepertinya beliau mudah ngobrol dengan sesiapapun.
Cerita yang hanya bikin penasaran dan geram, kan?. Namun bagi saya, yang telah mendengarnya langsung, itu tak mudah di hapuskan dari pikiran. Terbayang wajah beliau, ucapan beliau, juga bayangan beliau. Entahlah. Saya tak bisa melupakannya. Saya sedih, dan kasian pada nasib si jabang bayi. Belum lahir saja, sudah mendapatkan masalah. Masalah yang sangat berat. Hanya mampu mendoakan, semoga Allah berkahi hidupnya kelak.
Saya juga merasa benci serta geram dengan sifat ibu itu. Jika memang tak inginkan bayi, mengapa harus melakukan hubungan. Hingga akhirnya harus hamil, dan mengorbankan bayi sendiri. Bukankah jika telah dewasa, tahu akibat dari perbuatannya. Geram dengan pikirannya, yang tak mensyukuri, bahkan mendzolimi. Apakah dengan membuang bayinya yang belum keluar, urusannya akan selesai? Tak berhatikah? Tak bernalurikah? Sekejam-kejamnya hewan, ia tak akan mencelakakan anaknya sendiri.
Apakah ia tak berpikir, bagaimana jadinya jika kelak anaknya lahir (maaf) cacat. Nauzubillahiminzalik. Banyak obat yang sudah ditelannya. Semoga saja, ibu tersebut sadar setelah kelak melihat bayinya. Dan semoga, bayi tersebut juga normal, dan Allah mensejahterakan hidupnya.
Saya tak tahu lagi nasib ibu dan bayi ini. Kami berpisah di Yogyakarta. Saat saya turun, beliau masih tertidur, sehingga saya tak bisa pamitan. Hanya mampu menatap raut wajahnya. Guratan penuh duka dan bermasalah. Semoga saja, kedepan Allah sinari jalan hidupnya.
Pelajaran bagi saya, agar tak berbuat demikian, agar selalu mensyukuri semua karunia Illahi, agar amanah dengan tugas untuk menjaga buah hati, dan agar tak sembarangan melakukan hubungan selain dengan pasangan hidupnya. Sebab resiko terbesar berada pada wanita. Ada lagi, agar jangan mudah membuka aib sendiri dengan orang-orang, apalagi orang yang baru di kenalnya.
Sesampainya di rumah adik pun geleng-geleng mengingat cerita semalam. Kok bisa ya mbak? Ucapnya…..tak habis piker.
Cerita nyata, dan semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Yogyakarta minggu dini hari (02.30)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H