Mohon tunggu...
Bayu Insani
Bayu Insani Mohon Tunggu... -

Mantan BMI HK. Ibu rumah tangga yang tak mau diam. aktif apa saja.....:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjemput Impian

2 November 2012   10:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:04 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjemput Impian

Bayu Insani

Sore yang hampa. Pak Martoyo masih duduk risau di atas kursi rotannya. Dari dalam mulutnya, keluar asap yang menggumpal tipis. Kopinya yang telah lama disugukan oleh sang  istri, belum sedikitpun disentuh. Tatapannya kosong, menerawang jalan di halaman rumahnya yang sedikit becek karena curah hujan. Kegelisahan, bergumul di sana, bersama lumpur dan hujan.

Sesekali terdengar suara batuk, menandakan ringkih yang semakin melahap usianya. Namun lelaki yang sedikit berewok itu, tak sedikitpun memikirkan kesehatannya. Sering sang istri dan putrinya menasehati, agar jangan terlalu sering menghisap daun racun itu, namun nasehat mereka, bagai angin  lalu  di telinganya. Bahkan disaat-saat gelisah seperti inilah, justru beliau menjadi sering menghisapnya, sebagai teman untuk menenangkan gejolak hatinya.

Jemu masih betah bersarang dalam benaknya. Beliau yang sangat berharap segera melihat bayangan putrinya dari balik pagar, ternyata harus kecewa. Senja tiba dan maghrib datang, bayangan yang dinanti belum juga terlihat batang hidungnya. Gigi geraham lelaki itu, terdengar sedikit gemeletuk.

Suara adzan membuyarkan harapan. Wajahnya terlihat pias, ketika sang istri dari dalam memberitahukan, baru saja putrinya memberitahu, bahwa malam ini dia tak pulang. Malam ini, akan menginap di kos-kosan temannya karena hujan, pesannya. Akhirnya, lelaki itu terpaksa harus berdamai dengan rasa kecewanya. Dengan langkah berat, beliau melangkah ke dalam rumah.

Sudah lama beliau ingin mengungkapkan keresahannya itu, sejak putrinya dilamar oleh seorang pemuda satu tahun yang lalu. Namun entah mengapa, setiap kali ada kesempatan untuk bicara, setiap kali itulah lidahnya kelu. Ia takut, jika menceritakan kegelisahannya, putrinya akan marah dan menganggap dirinya gila, seperti anggapan orang lain padanya. Namun di sisi lain, ganjalan hatinya  begitu tajam menukik relung jiwanya, sehingga harus segera memberitahu putrinya

Di mata masyarakat, dan putrinya, pemuda itu sangat berwibawa. Suka menolong orang, murah senyum, dan suka memberi. Pemuda itu memang paling pandai dalam menyimpan bangkai. Ketampanan serta kepiawaiannya dalam membagi kasih, membuat pemuda itu menjadi idola perempuan. Termasuk putrinya, yang menganggap dilamar oleh pemuda itu, adalah suatu kebahagiaan serta anugerah tersendiri. Maghrib berlalu. Ia masuk kamar. Ke ranjang bambu: tidur. Saat matanya hendak terpejam, kembali bayangan dan ketakutannya mendera.

Hal aneh seperti ini, sering terjadi. Berawal lima tahun yang lalu, saat ia kembali dari  negeri cantik. Orang jawa bilang, dibawa lampor. Atau diculik sama syetan. Ia tak pulang ke rumah selama tiga hari tiga malam. Seluruh kampung geger mencarinya. Sebagian orang pintar mengatakan, ia dipinang ratu sebuah kerajaan halus. Pak Martoyo justru senang, kesasar di negeri yang belum pernah di injaknya selams hidup. Bahkan bertemu dengan ayah serta saudara-saudaranya yang telah meninggal. Pak  Martoyo melihat keindahan negeri itu, sambil ditemani wanita-wanita cantik. Makan-makanan yang enak, serta buah-buahan yang segar. Air susu mengalir bagai danau, putih  dan panjang tiada terkira. Dan beliau hidup hingga ratusan tahun di dalamnya.

Hingga suatu hari, saat bidadari-bidadari cantik itu tak berada di sisinya, ia merasa ada kejadian aneh. Sebuah tangan besar dan kasar menariknya hingga dia jatuh tersungkur di tanah. Saat itulah, warga kampung mendapati beliau seolah terjatuh dari pohon jati besar di tepian jalan.

Ia linglung. Merasa kehilangan keindahan yang baru saja dinikmati. Bermula itu, ia selalu diperlihatkan yang ghoib dan ganjil. Seperti saat Pak Poniman akan jatuh dari pohon kelapa. Ia telah menasehati Pak Poniman, supaya tidak memanjatnya tapi tak digubris. Dan terjadi. Poniman jatuh, kepalanya remuk.

Lagi, sewaktu anaknya Pak Rt hendak menabrak jembatan dengan motor barunya. Ia sudah mengingatkan. Sayang, anak bau kencur itu merasa telah piawai membawa potornya. Justru tancap gas ketika hampir sampai di jembatan. Motor menabrak tembok jembatan.

Sering ia melihat kejadian-kejadian aneh. Bahkan yang menjijikkan, pun pernah. Seperti waktu Karsum berbuat mesum sama Tirah, tetangga baru, yang kebetulan pernah jadi mantan Karsum dulu sewaktu masih gadis. Sebenarnya Pak Martoyo sudah melihatnya. Bahkan sampai terulang beberapa kali. Keadaan ini, membuat orang tua itu bingung. Mau diingatkan, takut disangka ia mengintip. Kalau dibiarkan, kelak pasti akan ada pertikaian. Dan seperti yang terlihat di telapak tangannya, yang terdengar di telinganya, kejadian itu akhirnya terjadi juga. Setelah Pak Martoyo bersembunyi karena tak ingin melihat kejadian mengerikan terjadi. Suatu sore, tanpa diduga, suami Tirah memergoki perselingkuhan mereka berdua. Belum sempat Karsum memakai bajunya, suami Tirah sudah membacoknya dengan clurit. Walaupun Karsum tak mati, ia akhirnya cacat seumur hidupnya. Saat kejadian ngeri itu sedang terjadi, Pak Martoyo di kamarnya sedang keluar keringat dingin, ketakutan. “Apa kubilang??” desisnya lirih.

Kini ia merasa telah lelah dan tua.  Fisik dan  raganya, lelah melihat kejadian-kejadian mengerikan yang tak pernah diinginkannya sama sekali. Beliau juga sudah lelah dan terlalu sakit di cap sebagai orang tak waras. Sering lelaki tua itu harus menitikkan airmatanya, karena sindiran tetangga kanan dan kiri, yang ngrasani kewarasannya. Namun sebagai lelaki, ia selalu berusaha tabah

Kejadian selanjutnya, yang telah terlihat di telapak tanganya, calon menantu serta anaknya. Namun, tak ada yang mempercayainya. Bahkan putrinya sendiri, pernah berbisik pada istrinya, kalau dirinya sudah tidak waras. Membenarkan ucapan warga, daripada percaya pada ayahnya sendiri. Sangat sakit di telinganya. Putri yang dibesarkan dengan kasih sayang, justru menghinanya dengan mengatakan kalau dirinya gila!.

Akhirnya, setelah malam semakin larut, ia kelelahan. Tertidur membawa impiannya. Pagi, saat sang istri membangunkannya untuk salat subuh, ia tak bangun. Ya, beliau kini telah bebas dari cemooh masyarakat. Menjemput impiannya: hidup damai bersama para bidadari di negeri tak bertepi. (*)

Cerma ini terbit di mingguan KR, edisi minggu ke III bulan oktober 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun