Mohon tunggu...
Husaini
Husaini Mohon Tunggu... Freelancer - cah ndeso

founder omah buku "uplik cilik" : sebuah rumah baca dan tempat ngobrol anak-anak muda desa. beralamat di Desa Pelemgede Kec. Pucakwangi, Kab. Pati - Jawa Tengah. sebuah desa tepi hutan jati masuk wilayah kabupaten Pati berbatasan dengan kabupaten Blora. jalur japri : insahu977@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Implementasi Program Pertanian Kita, Lain di Medsos Lain di Lapangan

17 Juli 2019   09:00 Diperbarui: 17 Juli 2019   09:10 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di kampung saya, kehadiran mesin pemanen padi (treser) misalnya, memang membuat kerja panen jadi efisien. Namun pada saat itu juga buruh tani (terutama laki-laki) kemudian banyak yang terusir dari kampung, harus merantau karena kehilangan pekerjaan: memanen padi.

Panen di kampung yang biasanya ditadai dengan bergairahnya ekonomi kampung saat ini mulai menurun. Panen ya berlalu begitu saja. Tidak ada kesan, tak ada kongkow-kongkow minum kopi buruh tani dan pekerja srabutan di kampung yang biasanya pada musim panen tenaganya juga tersedot di sector ini. Perputaran uang hanya mengalir dari petani ke cukong pemilik alsintan dan beberapa operatornya.

Di kampung saya, mekanisasi pertanian tetap tidak menarik anak-anak muda, tidak menghasilkan kader, karena sesungguhnya yang terjadi justru kapitalisasi dunia pertanian yang tidak ramah terhadap manusia (petani).

 Tentu saja ada pihak-pihak yang menikmati situasi ini; yakni petani dengan kepemilikan lahan yang luas, masyarakat yang hidupnya tidak bergantung di sector pertanian, tapi mereka memiliki lahan pertanian (misalnya: pedagang, pegawai neregi, guru, dll).

Padahal, bukankah BPS sudah tegas menyampaikan bahwa petani padi di Jawa kepemilikan lahannya rata-rata 0,25 ha. Sisanya adalah buruh tani yang meskipu mereka bergantung hidupnya pada sector pertanian, tapi mereka tidak memiliki lahan.

Ketiga, di akun medsos, pengenalan-pengenalan tentang benih unggul, pupuk organic, pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dikumandangkan. Produksi grafisnya bagus, informatif dan menarik.

Saya sebagai warga kampung yang aktif berselancar di medsos dan senang mengkoleksi grafis-grafis yang informatif semacam itu, senang mengumpulkannya. Pada saat senggang biasanya saya baca. Pada saat ada momentum pertemuan warga biasanya juga saya sampaikan.

Di kampung saya, hampir tidak ada petani yang memahami bahwa benih merupakan salah satu aspek keberhasilan. Mereka tidak pernah menyoal hal itu. pedomannya adalah: para tetangga menggunakan benih apa, ya itu jadi pilihan bersama.

Cerita-cerita soal beredarnya benih baru biasanya mengemuka dari warga yang tidak bergantung di sector pertanian (seperti: guru) dan itu-pun tak menghasilkan ketertarikan bagi petani. 

Pupuk organic sudah dibicarakan, tapi juga masih belum dianggap komponen penting. Hanya bagian pemanis pupuk kimia. Petani memahami, penjualan pupuk organic untuk pembelian paket pupuk bersubsidi itu hanya sekedar kebijakan administrative: "saiki nek tuku urea, dikanthili pupuk organic. Nek gak gelem gak didoli." (sekarang kalau beli urea, disertai pupuk organic. Kalau tidak mau, kita tidak dilayani).

Tentang pertanian yang ramah lingkungan, saya pernah mengadukan praktik pembakaran jerami sisa panen di sawah karena bagi saya, membakar jerami di sawah berdampak negatif bagi lahan pertanian: lahan semakin gersang, serangga-serangga baik berpeluang eksodus dan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun