Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"No Contest" Mahkamah Partai Golkar

1 April 2015   22:06 Diperbarui: 21 Juli 2017   16:13 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: liputan6.com

Pernahkah anda mendengar istilah "No Contest" dalam pertandingan tinju? Ya, "No Contest" artinya pertandingan tinju yang tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah dan tidak pula draw atau bisa juga disebut sebagai pertandingan tinju yang dinyatakan tidak pernah terjadi. 'No contest' terjadi apabila pertandingan berlangsung di bawah 4 ronde (tidak menyelesaikan ronde 4) dan ada petinju yang cidera, terluka atau bahkan tak sadarkan diri bukan karena pukulan tetapi karena ketidaksengajaan seperti benturan kepala. Apa hubungannya pertandingan tinju dengan hasil Mahkamah Partai Golkar?

Seperti kita ketahui bahwa SK Menteri Hukum dan HAM (menhukham) yang menyatakan Golkar versi Agung Laksono sebagai Golkar yang sah (meskipun saat ini dalam putusan sela PTUN menunda SK-nya) dilandasi oleh putusan Mahkamah Partai Golkar. Jika pertandingan tinju dipimpin oleh seorang wasit dan 3 orang juri atau hakim maka jika harus dibandingkan, menhukham ibarat wasitnya sedangkan hakim mahkamah partai adalah jurinya. Dalam hal pertandingan tidak berakhir KO/TKO maka keputusan pemenang pertandingan tinju ditentukan oleh penilaian 3 orang juri. Tentunya ketiga juri akan memberikan penilaian angka menang petinju 1, draw, atau menang petinju 2. Kenapa jurinya 3 atau ganjil? Meminjam istilah ahli hukum tata negara Refly Harun, ini sebagai mekanisme jika terjadi kebuntuan atau 'deadlock mechanism'. Sedikit orang yang tahu bahwa penentuan pemenang tinju oleh juri ini menggunakan 'double standard' yakni menggunakan 'majority decision' dan 'substantive decision". Jika anda cermat, maka jika harus bertaruh maka anda harus memilih hasil 'draw' untuk pertandingan tinju yang ditentukan oleh juri. Ini berbeda dengan hasil pertandingan kompetisi sepakbola yang kemungkinan menang, seri, kalah masing-masing 1/3. Di pertandingan tinju yang ditentukan oleh juri (menggunakan angka untuk menentukan pemenangnya), kemungkinan menang, draw, kalah berurut-turut 7/27, 13/27, 7/27. Anda pasti tidak menyangkanya atau tidak pernah mencoba memikirkannya. Kenapa hal ini terjadi? Itu karena 'double standard' yang diterapkan di penentuan pemenang tinju oleh juri. Jika ketiga juri berturut-turut menetapkan petinju 1 menang, menang, kalah atau menang, menang, draw maka 'majority decision' berlaku dan pemenangnya adalah petinju 1. Namun jika ketiga juri berturut-turut menetapkan petinju 1 menang, kalah, draw atau menang, draw, kalah maka 'majority decision' tidak berlaku. Ini karena tidak ada keputusan juri yang mayoritas, maka dalam hal ini sebagai 'deadlock mechanism'-nya diberlakukan 'substantive decision" atau dilihat makna/substansi dari putusan juri tersebut. Dalam hal ini, sesuai aturan tinju, maka dari hasil penilaian juri ini wasit akan menyatakan bahwa pertandingan berakhir draw meskipun draw bukan majority. Ini karena secara substansi hasil draw dianggap paling tepat menyusul keputusan 2 juri yang bertolak belakang (sehingga dapat dianggap saling meniadakan atau diabaikan) dan ada 1 juri yang menyatakan draw.

Setelah kita membahas sedemikian jauh permasalahan di pertandingan tinju, mari kita kembali ke Mahkamah Partai Golkar yang mengambil keputusan pada sidang tanggal 3 Maret 2015 yang lalu. Dilihat dari jumlah hakim yang genap, sebenarnya secara formal sudah kurang tepat karena akan menjadi sulit untuk mengambil putusan jika terjadi 'deadlock' karena 'majority decision' bisa tidak tercapai. Tenyata benar terjadi, 2 hakim mahkamah partai memenangkan kubu Ancol dan 2 lainnya menyatakan tidak mengambil keputusan. Berdasarkan 'majority decision' seharusnya skornya imbang 2-2 atau tidak ada yang mayoritas. Tapi coba kita lihat substansinya. Jika dilihat berdasarkan 'substantive decision" tentu saja skornya menjadi 2-0 untuk kubu Ancol karena dari keempat hakim mahkamah partai, tidak ada satu pun yang menyatakan kubu Bali yang menang. Sementara 2 hakim memenangkan kubu Ancol. Masalahnya sekarang kita mau pakai 'majority decision' atau "substantive decision". Jika kita menggunakan "deadlock mechanism" seperti pertandingan tinju, maka seharusnya pemenangnya adalah kubu Ancol karena jika tidak tercapai keputusan mayoritas maka dilihat substansi keputusaan hakim. Tapi kubu Bali pasti tidak bisa terima dan tidak mau membandingkan putusan mahkamah partai dengan keputusan juri di pertandingan tinju. Dalam persepsi mereka yang berlaku tetap "majority decision" dan karena tidak ada yang mayoritas maka tidak bisa diambil keputusan dan harus diselesaikan lewat pengadilan. Penulis memiliki pandangan sedikit berbeda. Menurut penulis, jika harus dibandingkan dengan petandingan tinju maka putusan mahkamah partai Golkar harus dianggap sebagai "No Contest", artinya sidang mahkamah partai beserta hasil putusannya harus dikesampingkan atau dianggap tidak pernah ada. Yang berarti pula mahkamah partai harus segera bersidang kembali dengan pokok perkara yang sama namun dengan jumlah hakim 5 atau ganjil. Dengan jumlah hakim yang ganjil maka kemungkinan bisa diambil keputusan dengan “majority decision” lebih besar, meskipun bisa saja hasilnya 2 hakim menyatakan kubu Ancol yang sah, 2 hakim menyatakan kubu Bali yang sah dan 1 hakim tidak mengambil keputusan. Jika ini terjadi mau tidak mau, suka tidak suka harus diselesaikan lewat pengadilan atau diputuskan dengan ‘deadlock mechanism’ yang telah ditentukan sebelum sidang, misalnya suara ketua mahkamah partai 1,5 kali dibanding anggota mahkamah partai atau putusan mengikuti apa yang diputuskan oleh ketua mahkamah partai (mengikuti ketua mahkamah partai) atau mekanisme lainnya.

Konsekuensi logis dari "No Contest" putusan mahkamah partai ini adalah keputusan menhukham yang saat ini ditunda oleh PTUN harus ditarik sampai ada keputusan terbaru dari sidang mahkamah partai. Kenapa SK menhukham harus ditarik? Ini karena SK menhukham berlandaskan pada hasil putusan sidang mahkamah partai yang “No Contest” atau dianggap tidak pernah ada. Dalam sidang mahkamah partai nantinya, amar putusan juga harus jelas, sistematis dan mengikuti kaidah-kaidah putusan pengadilan yang standar sehingga tidak lagi multi tafsir atau multi persepsi.

Demikian pendapat penulis terkait perselisihan yang terjadi di partai Golkar. Semoga perselisihan di partai Golkar ini segera berakhir sehingga energi yang dihabiskan untuk ini bisa digunakan untuk membangun bangsa dan negeri ini menuju masa depan yang lebih baik. Percayalah, perpecahan tidak akan membuat partai lebih kuat dan solid namun sebaliknya partai menjadi lemah dan ditinggal oleh konstituen. Yang mengambil keuntungan dari situasi ini tentunya partai lainnya. Saya yakin partai Golkar tidak mau seperti itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun