Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Manusia Suka Mengeluh? Sebuah Refleksi tentang Psikologi Keluhan

12 Desember 2024   15:38 Diperbarui: 12 Desember 2024   15:38 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengapa Manusia Suka Mengeluh? Sebuah Refleksi tentang Psikologi Keluhan | Dokumen Pribadi oleh: Ino Sigaze.

Lebih baik jangan hanya mengeluh, tapi lakukan hal kecil seperti adaptasi dan tindakan kecil yang kreatif untuk mengubah perspektif negatif tentang hidup dan alam ini | Ino Sigaze.

Manusia adalah makhluk yang tidak pernah berhenti untuk mencari keseimbangan, tetapi ironisnya, ia sering kali terjebak dalam lingkaran keluhan. 

Panas panjang yang memuncak dari bulan Agustus hingga November 2024, diikuti oleh hujan yang mengguyur bumi di awal Desember, menjadi ilustrasi nyata dari fenomena ini. 

Panas membuat banyak orang mengeluh, tetapi ketika hujan datang, keluhan kembali bergema. Pertanyaan yang patut direnungkan adalah, mengapa manusia suka mengeluh? Apa yang mendasari kebiasaan ini?

Psikologi di Balik Keluhan

Menurut penelitian, keluhan adalah bagian dari respons manusia terhadap situasi yang dirasa tidak sesuai dengan harapannya. Dalam bukunya "The Paradox of Choice: Why More Is Less" (Schwartz, 2004, New York: Harper Perennial, hlm. 45), Barry Schwartz menjelaskan bahwa keluhan sering kali muncul dari ekspektasi yang tidak realistis atau dari pilihan yang terlalu banyak. 

Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, manusia cenderung merasa frustrasi, lalu meluapkannya melalui keluhan.

Studi lain yang dilakukan oleh Robin Kowalski dalam bukunya "Complaining, Teasing, and Other Annoying Behaviors" (2003, New Haven: Yale University Press, hlm. 102), menyatakan bahwa keluhan juga merupakan mekanisme untuk mencari perhatian dan validasi dari lingkungan sosial. 

Dengan mengeluh, seseorang berharap mendapat pengakuan bahwa ketidaknyamanannya adalah sah dan layak diperhatikan. 

Demikian juga, dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang tidak berpendidikan saja biasa mengatakan bahwa keluhan itu sendiri tidak akan mengubah keadaan hidupmu.

Keluhan Sebagai Cerminan Ketidakpuasan (Unzufrieden)

Keluhan sebenarnya tidak selalu buruk. Dalam beberapa konteks, keluhan bisa menjadi pendorong perubahan positif. Misalnya, kritik terhadap kebijakan publik atau layanan yang buruk sering kali memicu perbaikan. 

Namun, keluhan yang berlebihan tanpa tujuan konstruktif bisa menjadi racun bagi kesejahteraan mental. 

Dalam artikel jurnal "The Psychological Costs of Complaining" oleh Smith dan Lazarus (2010, Journal of Behavioral Science, Vol. 45, hlm. 89-94), disebutkan bahwa keluhan kronis dapat menciptakan pola pikir negatif yang memperburuk stres dan kecemasan.

Saya jadi ingat kembali pada masa formasio tahun 2000, salah satu evaluasi (votase) yang sering tidak berubah dari teman-teman selama beberapa tahun adalah bahwa saya suka mengeluh. 

Dalam satu pertemuan pribadi dengan pembimbing (Ausbilder) saya akhirnya pernah protes bahwa saya sudah berubah dan saya tahu bahwa mengeluh itu sangat potensial memperburuk keadaan psikis.

Fenomena Keluhan dalam Kehidupan Sehari-hari

Keluhan terhadap panas dan hujan mencerminkan sifat manusia yang cenderung tidak puas dengan kondisi yang ada. Fenomena ini berkaitan erat dengan teori adaptasi hedonis, yang dijelaskan oleh Brickman dan Campbell dalam esai klasik mereka "Hedonic Relativism and Planning the Good Society" (1971, Adaptation Level Theory, New York: Academic Press, hlm. 287-302). 

Menurut teori ini, manusia memiliki kecenderungan untuk kembali ke tingkat kebahagiaan dasar setelah mengalami perubahan positif atau negatif. Hal ini membuat manusia sulit merasa puas dalam jangka panjang.

Perspektif Filosofis dan Spiritual

Dalam filsafat Stoikisme, keluhan dianggap sebagai hambatan untuk mencapai ketenangan batin. Marcus Aurelius dalam bukunya "Meditations" (2006, London: Penguin Classics, hlm. 55) menekankan pentingnya menerima hal-hal yang berada di luar kendali kita. Baginya, keluhan hanya membuang energi tanpa memberikan solusi.

Dari perspektif spiritual, khususnya dalam tradisi Kristen, keluhan sering kali dilihat sebagai kurangnya rasa syukur. 

Santo Paulus dalam suratnya kepada Jemaat Filipi (Filipi 2:14) menasihatkan, "Lakukanlah segala sesuatu tanpa bersungut-sungut atau berbantah-bantahan." Pandangan ini menggarisbawahi pentingnya sikap menerima dan bersyukur sebagai bentuk pengakuan atas kasih karunia Tuhan.

Mengubah Keluhan Menjadi Syukur

Bagaimana kita bisa mengatasi kecenderungan untuk mengeluh? Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengubah keluhan menjadi sikap yang lebih positif:

Pertama: Melatih Kesadaran Diri: Mindfulness atau kesadaran penuh dapat membantu seseorang mengenali pola pikir negatif sebelum keluhan terucap. Dalam bukunya "The Miracle of Mindfulness" (Hanh, 1975, Boston: Beacon Press, hlm. 72), Thich Nhat Hanh menekankan pentingnya melatih diri untuk hidup pada saat ini dan menerima segala keadaan dengan tenang.

Kedua: Meningkatkan Rasa Syukur: Penelitian oleh Emmons dan McCullough dalam jurnal "Journal of Personality and Social Psychology" (2003, Vol. 84, No. 2, hlm. 377-389) menunjukkan bahwa rasa syukur dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan mengurangi keluhan. Dengan berfokus pada hal-hal yang kita miliki, kita dapat melihat sisi positif dari situasi apa pun.

Ketiga: Mencari Solusi, Bukan Sekadar Mengeluh: Keluhan yang produktif adalah keluhan yang diikuti dengan tindakan untuk memperbaiki keadaan. Daripada mengeluh tentang panas atau hujan, kita bisa mencari cara untuk beradaptasi, seperti menggunakan pendingin ruangan saat panas atau membawa payung saat hujan.

Manusia memang makhluk yang tidak pernah berhenti mengeluh, tetapi dengan kesadaran dan latihan, keluhan dapat diubah menjadi alat untuk refleksi diri dan perbaikan. 

Seperti yang dikatakan oleh Viktor Frankl dalam "Man's Search for Meaning" (1946, Boston: Beacon Press, hlm. 112), "Antara stimulus dan respons, ada ruang. Di ruang itu terletak kekuatan kita untuk memilih respons kita." 

Mari kita gunakan ruang itu untuk memilih rasa syukur daripada keluhan, dan menerima kehidupan dengan segala dinamika yang menyertainya.

Salam berbagi, Ino, 12.12.2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun