Pengentasan kemiskinan bisa dilakukan dengan perencanaan yang matang dengan didukung oleh kebijakan yang adil | Ino Sigaze
Setiap pembicaraan tentang kemiskinan, baik itu yang ekstrim maupun tidak, tentu berimbas pada masalah lapangan pekerjaan yang menyerap banyak tenaga kerja.
Terlihat jelas secara tersembunyi namun diakui secara sosial bahwa penyebab kemiskinan ekstrim adalah pengangguran. Tentu saja, asumsi ini belum final.
Asumsi lainnya mungkin menyatakan bahwa kemiskinan dapat terjadi karena banyak faktor di negeri ini. Dan rasanya agak mustahil untuk mencapai angka nol jika mentalitas sebagian besar penduduk di negeri ini tidak berubah.
Tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran dua arah, kepada pemerintah dan kepada masyarakat sendiri, yang disertai dengan alasan-alasannya.
Kemustahilan Turunnya Angka Kemiskinan Ekstrim Menjadi Nol
Bangsa ini seharusnya sudah menjadi negara maju dan tidak lagi tergolong negara berkembang yang hidup di dunia ketiga.
Kita tahu bahwa istilah "dunia ketiga" dan "negara berkembang" selalu dikaitkan dengan kemiskinan, tetapi dalam setiap pembahasan terkait, selalu dibicarakan soal lapangan pekerjaan dan korupsi.
Tentu saja, lapangan kerja dan korupsi saling berhubungan. Siapa yang paling bertanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan? Dan siapa yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan lapangan kerja?
Pemerintah tentu saja menempati garda terdepan dalam urusan pengentasan kemiskinan dan penambahan lapangan kerja. Mengapa?
Pertama, pengentasan kemiskinan tidak hanya dapat diselesaikan dengan membuka saluran donasi yang tidak beralih ke dalam lingkaran tertutup, tetapi lebih dari itu, membuat orang mampu mandiri dalam berkreasi untuk menciptakan kehidupannya sendiri.
Kedua, hanya pemerintah yang dapat membuka kemungkinan menciptakan lapangan kerja yang baru, besar, dan menyerap banyak tenaga kerja.
Ketiga, kemiskinan dan lapangan kerja membutuhkan dana besar karena konsep itu tidak hanya untuk sekelompok orang yang kita sukai, tetapi untuk sejumlah besar orang yang termasuk dalam kategori miskin ekstrim di seluruh tanah air ini.
Keempat, hanya pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mendata dan mengakui kategori tertentu sebagai yang layak disebut masuk kelompok miskin ekstrim.
Korupsi dan Tantangan Kebijakan Pemerintah
Kemustahilan itu terjadi, pertama-tama, karena mentalitas korupsi di negeri ini belum berakhir. Coba bayangkan saja, jika kita merekapitulasi semua dana yang dikorupsi selama setahun saja, kita akan menyadari bahwa jumlahnya mencapai triliunan rupiah.
Dana sebesar itu apakah tidak mungkin untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang bisa menyerap banyak tenaga kerja?
Tentu saja, ini benar-benar paradoks. Mengapa? Masyarakat sederhana yang hidup di desa memiliki modal pinjaman di bank sebesar 30 juta saja, mereka dapat menciptakan lapangan kerja dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 3 orang, sementara pihak-pihak yang memiliki modal besar tidak pernah diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja?
Tentu saja, ini tidak adil dalam arti tertentu.
Secara logis, kita bisa mengatakan: Jika tidak ada dana yang dikorupsi, maka rakyat kita sudah cukup mendapatkan suntikan dana.
Jika pribadi-pribadi tertentu tidak melakukan korupsi, maka bisa saja ada penyebaran lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja hingga ke desa-desa.
Sayangnya, tampaknya tidak ada yang dapat mengatasi korupsi di negeri ini. Entah karena lemahnya hukum kita?
Dalam kesempatan bincang-bincang santai dengan masyarakat sederhana di desa-desa, terdengar ungkapan seperti ini: Kami memiliki ide dan rencana untuk membuka usaha, tetapi kami tidak memiliki cukup modal.
Memang, kebijakan pemerintah saat ini sangat membantu petani dan pengusaha kecil, termasuk di desa-desa, misalnya dengan pinjaman dana KUR yang bunganya sangat rendah.
Tiket Mahal dan Manajemen Rencana Kerja yang Tidak Pasti
Manajemen pengelolaan UMKM masyarakat desa itu sangat lemah. Kelemahan terbesar pengusaha kecil di desa-desa, seperti di Flores, misalnya, disebabkan oleh beberapa hal berikut:
Pertama, manajemen usaha yang tidak didasarkan pada ilmu yang dipelajari dalam pendidikan formal. Kedua, pengaruh budaya respek dan urusan adat yang tidak pernah putus rantainya.
Kendala lain yang sangat signifikan tentu saja berkaitan dengan regulasi yang mendukung akses pengusaha di wilayah luar untuk masuk dalam pasar pusat kota.
Hingga saat ini, saya masih belum mengerti mengapa harga tiket semakin mahal ketika bergerak ke timur. Andaikan pemerintah memiliki subsidi yang memperhatikan hal ini, saya yakin banyak pengusaha dari luar ibu kota yang dapat berkembang dan memiliki konektivitas bisnis yang lebih luas dan terbuka.
Jangan dianggap sepele soal harga tiket itu. Dinamika pariwisata di daerah-daerah terhambat salah satunya karena harga tiket yang tinggi.
Tanpa kita sadari, mahalnya harga tiket dapat menjadi bagian dari sistem tersembunyi (Kryptosytem) pemiskinan. Banyak sukarelawan yang ingin berbagi ilmu ketika membahas kekurangan sumber daya manusia, tetapi akan terhenti karena masalah transportasi yang mahal.
Belum lagi, mentalitas yang belum teratur dengan sistem pembuatan rencana kerja, semuanya bersifat mendadak. Misalnya, rencana pertemuan dua minggu lagi baru mengirimkan undangan pertemuan.
Secara logika, semakin singkat waktu keberangkatan ke ibu kota, semakin mahal tiketnya. Pembahasan mengenai digitalisasi pun terhambat karena pemerataan jaringan internet hingga saat ini belum berjalan dengan baik.
Alokasi dana untuk itu bahkan malah dikorupsi. Itulah kerancuan konsep pembangunan yang terjadi di negeri ini. Pihak pemilik modal terus menekan pengusaha kecil yang sedang bersemangat untuk berkembang dan menyerap tenaga kerja.
Tanpa disadari, kita sedang berhadapan dengan perbedaan konsep dan persaingan yang belum mencapai tingkat rasional dengan arah pikir yang sama, yaitu menekan angka kemiskinan dan mencapai pemerataan kesejahteraan.
Apa yang Menghambat Kemajuan Suatu Daerah dan Tantangan Imitasi Usaha dan Cara Berpikir
Dalam banyak kesempatan dialog dengan penduduk desa, saya mendapatkan kesan bahwa kegagalan usaha kecil di desa disebabkan oleh fakta bahwa semua orang ingin membuka usaha yang sama.
Konsep imitasi usaha ternyata tidak efektif untuk kemajuan dan perkembangan suatu daerah, malah melemahkan. Contohnya, masyarakat di desa yang hidup sebagai petani. Dari satu desa yang masih bekerja di ladang dengan sekitar 500 keluarga, penghasilan padi mereka mungkin tidak lebih dari 100 ton beras.
Ada seorang petani yang memiliki sedikit modal, membaca peluang itu, dan membeli mesin penggilingan padi. Saat penggilingannya pertama kali laris, orang lain juga membeli mesin penggilingan, dan minggu berikutnya sudah ada 5 mesin penggiling padi di satu desa. Akhirnya, mesin-mesin tersebut nganggur dan menjadi berkarat.
Masyarakat seperti itu seharusnya diberikan sosialisasi, misalnya, tentang cara pengolahan dedak padi dan cara mengolah gabah padi hingga menjadi tanah berkualitas untuk tanaman dan pengolahan lain.
Hingga saat ini, belum ada regulasi terkait, dan akhirnya kita bersaing satu sama lain dan tanpa disadari saling merugikan. Bagaimana bisa ada kemajuan jika masyarakat kita tidak kreatif?
Dalam hal ini, edukasi terkait cara-cara kreatif membuka usaha kecil yang menyerap tenaga kerja tentu sangat efektif. Selain itu, masyarakat kita sangat mengharapkan kebijakan pemerintah yang memudahkan akses transportasi ke ibu kota dan dari ibu kota ke desa.
Kemudahan akses transportasi akan berdampak positif pada perekonomian dan peningkatan wawasan serta cara berpikir masyarakat desa.
Salam berbagi, Ino, 22 November 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H