Kedua, hanya pemerintah yang dapat membuka kemungkinan menciptakan lapangan kerja yang baru, besar, dan menyerap banyak tenaga kerja.
Ketiga, kemiskinan dan lapangan kerja membutuhkan dana besar karena konsep itu tidak hanya untuk sekelompok orang yang kita sukai, tetapi untuk sejumlah besar orang yang termasuk dalam kategori miskin ekstrim di seluruh tanah air ini.
Keempat, hanya pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mendata dan mengakui kategori tertentu sebagai yang layak disebut masuk kelompok miskin ekstrim.
Korupsi dan Tantangan Kebijakan Pemerintah
Kemustahilan itu terjadi, pertama-tama, karena mentalitas korupsi di negeri ini belum berakhir. Coba bayangkan saja, jika kita merekapitulasi semua dana yang dikorupsi selama setahun saja, kita akan menyadari bahwa jumlahnya mencapai triliunan rupiah.
Dana sebesar itu apakah tidak mungkin untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang bisa menyerap banyak tenaga kerja?
Tentu saja, ini benar-benar paradoks. Mengapa? Masyarakat sederhana yang hidup di desa memiliki modal pinjaman di bank sebesar 30 juta saja, mereka dapat menciptakan lapangan kerja dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 3 orang, sementara pihak-pihak yang memiliki modal besar tidak pernah diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja?
Tentu saja, ini tidak adil dalam arti tertentu.
Secara logis, kita bisa mengatakan: Jika tidak ada dana yang dikorupsi, maka rakyat kita sudah cukup mendapatkan suntikan dana.
Jika pribadi-pribadi tertentu tidak melakukan korupsi, maka bisa saja ada penyebaran lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja hingga ke desa-desa.
Sayangnya, tampaknya tidak ada yang dapat mengatasi korupsi di negeri ini. Entah karena lemahnya hukum kita?
Dalam kesempatan bincang-bincang santai dengan masyarakat sederhana di desa-desa, terdengar ungkapan seperti ini: Kami memiliki ide dan rencana untuk membuka usaha, tetapi kami tidak memiliki cukup modal.