2. Menulis sebagai Proses Mencari
Kesadaran yang mungkin belum diakui oleh banyak orang adalah bahwa menulis adalah sebuah proses pencarian.
Coba perhatikan, ketika Anda hendak menulis, Anda akan mencari topik pilihan, mencari gagasan dasar dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh editorial, mencari kategori yang tepat, mencari judul yang menarik, mencari diksi yang sesuai, mencari kata-kata kunci, mencari poin-poin utama, dan bahkan mencari siapa target pembaca yang dituju. Proses mencari seperti itu tidak bisa dihindari, baik Anda adalah penulis senior dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi maupun pemula. Semua penulis akan melalui proses ini.
Saya melihat bahwa keselarasan antara pemilihan topik, judul, kata-kata, dan isi gagasan secara perlahan akan membentuk kualitas tulisan.
Kualitas tulisan berkembang seiring dengan frekuensi menulis dan fokus pencarian. Ya, itu juga termasuk dalam mencari dan memperbaiki kata-kata yang salah serta mengoreksi formulasi yang masih kabur.
Semakin saya menyadari brand penulis, semakin takut saya untuk menulis artikel sepele atau, seperti yang Prof. Felix katakan, "artikel sampah." Meskipun demikian, hal ini tidak dapat dihindari.
Artinya, menulis adalah sebuah proses mencari. Kesadaran tentang proses mencari ini tidak akan mengurangi kepercayaan diri karena pada dasarnya seorang penulis selalu dalam tahap pencarian.
Keterbatasan kualitas tulisan mungkin hanya mencerminkan bahwa kita belum menemukan apa yang sebenarnya kita cari.Â
Dan setiap orang memiliki kebebasan untuk mencari dan membentuk brand diri mereka sebagai penulis.
3. Menulis sebagai Proses Formasi
Menulis hingga mencapai tingkat kesadaran mencari dan berupaya membangun brand diri sebagai penulis adalah sebuah proses formasi. Ini mengingatkan saya pada proses formasi menjadi seorang imam dalam konteks Gereja Katolik, yang berlangsung selama minimal 10 tahun.
Apa yang dilakukan selama 10 tahun itu? Di sana, banyak aspek diformasikan, mulai dari kedisiplinan, intelektualitas, aspek spiritual, psikologi, komunikasi sosial, pengetahuan tentang Kitab Suci dan hukum Gereja, hingga sejarah dan banyak hal lain yang harus dipelajari.
Tentu saja, hal yang sama berlaku dalam konteks pondok pesantren di Indonesia, di mana anak-anak diformasikan secara ketat dalam disiplin keagamaan, belajar membaca Alquran, memahami sejarah Nabi Muhammad, serta berbagai disiplin ilmu lainnya.
Dalam konteks petani, seorang penulis bisa melalui proses yang mirip dengan proses tumbuhnya pohon kopi. Ketika pohon kopi ditanam, ia belum menghasilkan buah.
Identitasnya sebagai pohon kopi sudah jelas, tetapi ia masih butuh waktu untuk berbuah. Keterlambatan dalam meraih identitas sebagai penulis mungkin karena kita belum sepenuhnya selesai dengan proses formasi.Â