Pekerja menyedot pasir dari sungai ke atas truk menggunakan mesin di Sungai Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (5/4/2023).(ANTARA FOTO via BBC INDONESIA)
Perspektif yang merujuk pada keutuhan ciptaan dan lingkungan alam perlu disertai dengan tinjauan ulang dan rekomendasi pada kebijakan-kebijakan yang sedang berjalan | Ino Sigaze.
Pertama kali membaca sorotan topik pilihan Kompasiana tentang 'Kebijakan ekspor pasir', saya merasa senang dan bersemangat. Pasalnya, tema ini telah lama saya tunggu untuk menjadi tema populer.
Kebijakan ekspor pasir telah lama menjadi perdebatan karena dampaknya yang signifikan terhadap kelestarian alam dan lingkungan.
Secara umum, orang dapat melihat bahwa ekspor pasir akan memberikan dampak besar terhadap lingkungan dan alam di area pesisir pantai. Terdapat kasus-kasus yang mungkin belum diketahui orang bahwa meskipun kebijakan ekspor pasir ini baru dibahas saat ini, namun di daerah lain seperti di Flores, ekspor pasir telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun.
Tulisan ini lebih fokus pada fakta pengerukan pasir di wilayah Kabupaten Ende, Kecamatan Nangapanda, dan di desa Zozorea. Proyek pengerukan pasir di wilayah tersebut telah terjadi selama 10 tahun.
Terdapat beberapa kenyataan yang masih belum jelas di mata masyarakat di sana:
1. Ke Mana Pasir Itu Akan Digunakan?
Ke mana pasir tersebut akan dibawa tentu saja hanya merupakan konsumsi perusahaan dan pihak-pihak yang bekerja sama. Beberapa tahun lalu, hanya terdengar bahwa wilayah tambang pasir tersebut diizinkan oleh pemilik tanah di tempat tersebut setelah pemiliknya diberikan sejumlah uang.
Sejumlah uang tersebut tentu saja awalnya terlihat banyak, tetapi jika dibandingkan dengan kenyataan berapa banyak pasir yang telah diambil setiap hari kerja, maka rasanya uang imbalan tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan kenyataan yang dimiliki pihak perusahaan.