Perempuan bukan di titik nol lagi, tetapi di titik pusat media dan literasi zaman | Ino Sigaze.
Sorotan tema Kompasiana kali ini cukup menggelitik untuk lebih jeli dan kritis. Namun, bagi saya mengangkat tema penulis Kompasiana yang berjiwa Kartini dalam menyongsong hari peringatan Ibu kita Kartini itu merupakan momen penting yang perlu diapresiasi.
Oleh karena itu, tulisan ini lebih menyoroti sosok ideal tanpa menyebut nama secara mendetail. Pertanyaannya, mengapa tidak perlu menyebut nama?
Nah, ada 5 alasan mengapa tidak perlu menyebut nama penulis perempuan:
1. Semua perempuan yang telah menjadi penulis di Kompasiana bagi saya adalah sosok-sosok yang yang telah menjiwai daya juang ibu kita R.A. Kartini.
Mengapa? Saya membayangkan untuk proses membuat akun sehingga boleh menulis di Kompasiana saja sudah membutuhkan perjuangan.
Lalu tidak hanya itu, kalau perempuan yang belum berkeluarga, ketika dia punya keputusan untuk menulis, berarti dia sudah punya pikiran yang positif tentang dunia literasi.
Mendukung dunia literasi Indonesia bagi saya itu sudah merupakan nilai yang tertinggi bagi seorang penulis perempuan.Â
Apalagi bagi kaum ibu yang sudah berkeluarga, tapi setia menulis di sela-sela kesibukan rumah tangga mereka.
Dari nafas perjuangan seperti itu bagi saya sudah tidak bisa bedakan lagi mana sosok yang lebih Kartini dan mana yang nggak.Â
Karena semua mereka sudah punya keputusan untuk memulai sesuatu yang mungkin jauh di dunia kehidupan ibu Kartini tempo dulu.
2. Rasa percaya diri penulis perempuan akan terombang ambing ketika nama mereka tidak disebut, padahal semua penulis perempuan telah menulis dengan penuh perjuangan dan ketulusan hati.