Bencana Cianjur tidak saja sekedar bencana kemanusiaan, tetapi juga bencana cara pikir yang terlalu mendewakan agama, sampai lupa akar kemanusiaan dan kepedulian nyata kepada mereka yang terdepak gempa | Ino Sigaze.
Bencana gempa Cianjur memang pantas jadi sorotan ajakan Kompasiana kali ini. Ada banyak sekali Artikel terkait Cianjur dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
Bahkan Cianjur menjadi polemik di wajah media Indonesia. Ada kesan bahwa orang tidak bisa dengan mudah memberikan bantuan kepada warga yang terdampak gempa Cianjur.
Entahlah apa alasannya. Beberapa hari belakangan ini, saya tersiksa oleh pertanyaan yang spontan muncul: apakah tulisanmu bisa membantu warga Cianjur yang menderita kekurangan makan, pakaian dan lain sebagainya?
“Bantuan yang bisa diberikan oleh penulis bisa saja bantuan langsung material yang dibutuhkan, tapi juga bantuan gagasan dan pencerahan wawasan.”
Pikiran inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang "bantuan tanpa identitas, tapi tepat sasar."
Mengapa bisa ada gagasan tentang bantuan tanpa identitas, tapi tepat sasar? Ada 2 hal yang penting diperhatikan dalam memberikan bantuan:
1. Sikap batin pemberi yang ikhlas
Umumnya pemberi bantuan mengatakan bahwa kami memberi dengan ikhlas, tapi mereka tetap saja menunggu ucapan terima kasih. Itu kenyataan sosial masyarakat kita.
Bahkan dalam konteks zaman kita ini, pemberi itu menunggu berita di media sosial, apakah nama mereka disebut atau gak? Terdengar aneh sekali bukan? Ya, memang aneh, tapi itulah kenyataan manusia di dunia ini.
Saya masih ingat beberapa tahun lalu, ketika ada bencana tanah longsor di Flores Timur. Saya pernah mengorganisir bantuan di Jerman. Lumayan sih terkumpul pada saat itu.