Saya cinta kesederhanaan, karena dari kesederhanaan terpancar cerita dengan seribu pesan yang tidak selesai dibaca.
Tema tentang kuliner sorotan Kompasiana kali ini bagi saya sangat menantang, apalagi harus bersentuhan dengan makanan tradisional Nusantara. Semula saya merasa tidak percaya diri untuk bernarasi tentang kuliner kampung yang tengah hidup dalam pikiranku sekarang.
Akan tetapi, oleh karena kuliner kampung itu adalah bagian dari peradaban suku dan kebiasaan masyarakat kampung di sana, maka saya menerima itu sebagai kenyataan yang bisa saja menarik.Â
Perlahan-lahan dibawa ke dalam gagasan tentang bagaimana belajar menerima budayaku sendiri sebagai yang unik dan tradisional. Keunikan dan tradisionalitas ternyata punya nilai jualnya sendiri.
Suatu waktu di tahun 2017 seorang mahasiswi Jerman, sebut saja namanya Marieta duduk bercerita dengan saya dalam satu waktu istirahat siang (Kaffeepause). Marieta bercerita tentang rencananya akan mengambil waktu satu tahun untuk berada di luar negeri.
Tuntutan itu adalah tuntutan kuliah dari kampus kami. Oleh karena tuntutan itu, Marieta mulai bermimpi tentang negara mana yang akan menjadi tujuannya. Semula ia ingin ke India, lalu entah kenapa ia bercerita juga tentang rencana ke Afrika.
Pada prinsipnya, standar pilihannya adalah negara di mana bisa ditemukan: keunikan, keanehan dan yang terlihat masih tradisional. Sejak saat itu, saya dikejutkan oleh mimpi temanku itu. Ternyata, yang unik dan tradisional dicari orang-orang modern.
Saya tahu bahwa sebagian besar mahasiswa di kampus itu memilih Afrika sebagai tujuan setahun belajar di sana. Tujuan itu bukan sekedar jalan-jalan, tetapi untuk menemukan objek penelitian yang bisa menjadi materi tulisan akhirnya mereka.
Kisah kecil itu mengubah pikiran saya untuk berani menulis dengan gaya paduan fakta dan fiksi tentang kuliner kampungku yang mungkin tidak pernah tertulis sampai sekarang.
Pisang rebus, sambal tomat dan daun pepaya
Dari nama dan gambar mungkin bagi sebagian orang akan takut, apalagi orang yang bukan dari Flores sana. Tapi itulah kenyataan di kampung kami. Sampai saat ini saya belum bisa lupa dengan komentar seorang teman saya asal kota Malang, "Hidup sudah pahit, makan lagi yang pahit."