Wajah duka karena lelah menjalani hidup untuk semua anak-anaknya. Wajah duka untuk diriku hingga seperti ini. Wajah duka untuk sukacita kami semua, untuk kehidupan anak-anak, cucu dan cicitnya.Â
Ibu yang punya air susu kasih yang mahal dan tak terbayarkan yang menjadikan kami mengerti, dan mengenal dunia dan banyak orang lainnya.Â
Ibu yang pernah menjerit lelah dalam sunyi hatinya yang tidak terucapkan, agar kami tidak larut dalam kesedihan. Ibu yang melepaskan kami pergi ke mana-mana untuk tugas dan panggilan hidup kami masing-masing.
Ibu yang tidak menuntut, tetapi cuma bertanya, "kapan ia datang mengunjungiku untuk terakhir kalinya"Â
Ibu yang sekian tahun harus terpisah dan hanya berkaca pada layar teknologi; ia coba menyentuh wajah anak yang jauh. Mengapa engkau begitu jauh? Ema kau reu ka ree. Jao dhepa, tapi iwa nggena, iwa rasa atau engkau jauh, sayang sekali ingin menyentuh wajahmu, tetapi tidak bisa tersentuh.Â
Ya, ibu yang juga punya kerinduan, tapi tidak mengatakan kerinduan, agar kami tenang bekerja di ladang pelayanan.Â
Dari rahim pesawat Emirates Dubai-Jakarta saya tulis kata ibu dengan air mata tak tertahankan.Â
Ibu apapun rupamu saat ini, ibu tetap yang terbaik dalam hidupku. Ibu adalah wajah Tuhan yang nyata saat ini.Â
Oleh kasih sang ibu, kami belajar mengenal dan percaya pada kasih Abadi dari yang kekal. Dari keterbatasan kasihnya, kami belajar mengenal dan menyadari betapa tak terbatas kasih Tuhan itu.Â
Ibu adalah buku tentang awal hidup manusia dan masa depannya.Â
Sambil mendengar irama musik klasik William Byrd: Mass for 3 voices-Sanctus - Benedictus, saya tulis tentang ibu dan ajaran kekudusannya. Ibulah yang mengajarkan hidup dan berbagi tidak akan pernah menjadikan kamu kekurangan -Muri nee pati, supaya muri iwa kura apa.