Jakarta kota sumber inspirasi yang tidak akan bisa membuat penulis berhenti menulis tentangnya. Di sana ada selaksa kenangan.
Tema sorotan Kompasiana kali ini sangat unik dan menantang ranah tafsiran anak bangsa ini tentang kota Jakarta. Ibu kota Jakarta sudah disebut puluhan tahun oleh dunia. Siapa yang tidak mengenalnya?
Jakarta memang pantas dikenang sebagai kota selaksa kenangan. Ungkapan kota selaksa kenangan bukan soal jumlah kenangannya, tetapi sebuah diksi superlatif yang dipakai untuk mengungkapkan betapa banyaknya kenangan tentang Jakarta sebagai ibu kota.
Coba bayangkan saja, jika seluruh penghuni kota Jakarta menulis kisah hidup mereka di Jakarta, maka berapa banyak buku, novel, cerita dan lain sebagainya.Â
Saya sebagai seorang yang bukan penghuni ibu kota Jakarta saja sudah punya 6 kenangan. Tentu kenangan manis dan pahit ada bersama di sana.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya coba membeberkan sejumlah kenangan pribadi saat berada di Jakarta dan tentang Jakarta tentunya tidak bisa dilukiskan semua dalam tulisan ini.
Jakarta, kota selaksa gelar dan kenangan. Ini 6 kenangan saya:
1. Kota terpadat penduduknya; enak diceritakan, bangga karena besar dan luasnya
Kepadatan penduduk dan luas kota Jakarta sudah menjadi tema pembicaraan sekurang-kurangnya dalam momen-momen santai saya bersama teman-teman orang Jerman.Â
Dalam konteks internasional, terkadang tidak diduga, masing-masing orang dari berbagai negara berbagi cerita tentang luas dan jumlah penduduk yang tinggal di ibu kota mereka.
Saya masih ingat di tahun 2016, saat rekreasi bersama waktu itu. Saya mengatakan bahwa jumlah penduduk yang menghuni kota Jakarta sekitar 8 juta orang. Semua teman tersentak kaget dan terdiam. Mereka langsung membayangkan betapa besarnya Jakarta.
Dari kisaran itu, bisa diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, soal kepadatan penduduk Jakarta sudah pasti menjadi tema yang sudah dibicarakan bukan saja orang Indonesia saja, tetapi orang Eropa juga.
Tingkat kepadatan penduduk itu terasa sekali ketika pertama kali mendarat di Jakarta tahun 2009. Saya belum pernah melihat keramaian lalu lintas di jalan seperti di Jakarta. Riuh ramai, panas dan macet selalu menjadi teman perjalanan sehari-hari.
 2. Kota pertama mengubah gagasan dari kata ke lagu tahun 2009
Tahun 2009 adalah tahun pertama berkarya sebagai di sebuah lembaga pendidikan swasta di Flores. Pada tahun pertama itu ditemukan ada begitu banyak potensi dan kekurangan di tempat kerja.
Tak pernah menuduh dan menyangkal bahwa potensi dan kekurangan itu ada pada semua orang. Kesadaran tentang potensi yang perlu diolah secara kreatif, ternyata bisa mengubah kenyataan yang penuh dengan kekurangan.
Di bidang pendampingan orang muda saat itu muncul pula gagasan menulis puisi dan lagu-lagu sederhana. Ide menulis lagu dan akan dinyanyikan itu bertumbuh besar hingga mendarat di kota Jakarta untuk proses percetakan CDnya.
Pada tahun itu, di Flores rupanya belum banyak yang menjual lagu-lagu dalam bentuk CD player. Nah, Saya masih ingat pada tahun itu, saya pernah bertemu dengan seorang bos perusahan CD di Mangga Dua Jakarta, selanjutnya pernah jalan-jalan ke Mabes Polri, hingga pernah melihat dari dekat Pak Antasari di sana.
Dari hasil percetakan CD di Jakarta itulah, kami menjual ke seluruh Indonesia dan pada tahun itu terkumpul sekitar 350 juta. Ya, Jakarta dan kenangan keberuntungan ketika pernah mengubah kata ke sebuah syair lagu dan musik.
 3. Kota pemberi visa ke Jerman
Sebelum ke Jerman, saya pernah berangkat lagi ke Jakarta untuk mengurus visa di kantor kedutaan Jerman di Jakarta. Waktu hati dan pikiran saya dipenuhi dengan rasa takut, soalnya berdasarkan kata orang bahwa nanti akan ada wawancara dalam bahasa Jerman.Â
Waktu itu modal bahasa belajar sendiri dan kursus kilat di Malang, tapi ternyata sedikit bisa menolong cuma untuk perkenalan diri dan tujuan ke Jerman.Â
Pada saat itu, saya merasakan ketatnya pemeriksaan sebelum masuk ke ruang wawancara. Segala barang bawaan pribadi harus ditinggalkan di luar.Â
Rasa cemas pun sangat besar karena takut barang-barangku kehilangan. Tapi satu yang menyenangkan bahwa urusan visa itu satu-satunya alasan masuk akal untuk berangkat ke Jakarta.Â
Jakarta akhirnya dari cerita itu terhubung dengan kenangan tujuan berangkat ke Jerman. Meskipun demikian, apakah kelak Jakarta tetap dikenang dengan segala urusan visa yang terpusat di sana?
 4. Kota transit saat liburan
Berulang kali perjalanan ke Jerman maupun dari Jerman ke Indonesia, Jakarta tetap menjadi kota tujuan pertama. Saya masih ingat ketika itu tahun 2015, Bandara Soekarno Hatta Jakarta tidak sebagus saat ini.Â
Bahkan bandara internasional itu tidak seberapa teratur seperti saat ini. Karena itu, cukup membingungkan untuk orang baru di sana dengan sekian banyak orang menawarkan bantuan untuk menolong membawakan barang kita.Â
Terkadang saat transit membuat jantung berdebar, terasa selalu saja kemungkinan tidak terduga bisa terjadi sana. Namun, terasa sangat berbeda pada tahun 2017.
Suasana bandara yang ramah, bersih, dan teratur, menjadikan Jakarta semakin nyaman menjadi kota tujuan transit. Di sana ada bus yang mengantar ke terminal lainnya, dan beraneka fasilitas yang menolong dan mendukung rasa aman ketika berada di sana.Â
5. Kota pertengkaran dengan petugas bandara karena bela para TKW dari Arab
Kota Jakarta bagi saya tidak bisa dipisahkan dari cerita pernah bertengkar karena membela orang-orang yang baru saja kembali dari Arab Saudi lalu harus membayar macam-macam di bandara.Â
Ya, tahun itu rupanya tahun yang tidak enak, banyak sekali orang Indonesia yang berusaha dengan serakah memeras sesama saudaranya sendiri di bandara.Â
Pertengkaran pernah terjadi, hanya karena tidak tega melihat seorang ibu tua dengan banyak barang, di tahan satpam untuk membayar macam-macam tuntutan di bandara. Aksi serupa pungutan liar pada saat itu rupanya dianggap biasa.
Coba bayangkan mereka tidak tahu juga aturannya dan mengapa mereka melakukan itu lalu atas dasar apa. Perhatian, respek dan kemanusiaan rupanya menjadi taruhan berat di kota itu.
6. Kota karantina pertama dan kota senja dari lantai 22
Pada bulan Juli 2021 saat terpaksa kembali ke Indonesia untuk mengunjungi sang ibu yang sakit, kota Jakarta bagi saya kembali menaburkan satu kenangan pertama dalam hidup yang namanya karantina di lantai hotel ke 22.
Jakarta dinikmati suka atau tidak suka selama 8 hari. Delapan hari karantina terbenam dalam kamar dengan suasana tanpa udara dari luar jendela yang terbuka. Perut kembung, mual, dan rasa tidak enak berlangsung hingga meninggalkan kembali kota Jakarta.
Jakarta dari ketinggian itu, saya menyimpan kenangan tentang keindahan kota Jakarta saat senja.
Senja yang tidak pernah saya duga untuk di sisi barat Jakarta. Jakarta dengan panorama gedung pencakar angkasa ternyata menyibakan secercah cahaya senja yang sangat indah.
Senja di kota Jakarta disimpan dalam kenangan di lantai 22, ya karantina tanpa korona. Jakarta kota yang menyelamatkan saya dari serangan ganas korona saat itu.Â
Kota indah yang menghadiahkan wajah senja dan kesehatan di hotel 22. Jakarta yang tidak bisa dilupakan. Jakarta abadi dalam kenangan.
Oleh karena kota Jakarta itu penuh kenangan, maka saya mengucapkan selamat atas ulang tahunnya ke 496:Â
"Jakarta engkau pernah menjadi ibu dan bahkan tidak akan lagi menjadi ibu, tetapi tentang saat-saat engkau menjadi sang ibu, aku tidak akan melupakan kenangan bersamamu."Â
Keindahan bersamamu, wajahmu di saat senja adalah ibu dari sukacita, keberhasilan, dan kenanganku. Aku suka Jakarta tetap sebagai kota sejarah dan sastra. Dari keindahanmu dalam kenanganku saat itu, aku menulis kenangan itu.
Salam berbagi, ino, 23.06.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H