Yang saya pikirkan sekarang adalah bagaimana supaya menjadi petani modern dan milenial, tetapi sekaligus setia pada tradisi bertani yang berakar pada kearifan lokal -Ino Sigaze.
Tema sorotan Topik Pilihan Kompasiana kali ini menantang saya secara pribadi tentunya lebih-lebih karena saya sendiri adalah anak dari seorang petani dengan latar belakang tradisi bertani yang kuat.Â
Warisan tradisi bertani yang mempengaruhi saya secara kuat itu (geprägt), akhirnya tinggal kenangan karena saya sendiri tidak lagi bertani seperti keluarga saya pada umumnya.
Meskipun demikian, saya masih bisa mengikuti perkembangan dan perubahan tradisi bertani itu sejak tahun 1980-an sampai dengan saat ini.Â
Dari pengamatan berdasarkan kenyataan di kampung saya, ternyata memberanikan saya bahwa tradisi pertanian saat ini telah mengalami fase sekularisasi.
Berikut ini ada 5 alasan mengapa ada indikasi sekularisasi dalam konteks tradisi bertani:
1. Perkembangan dan perubahan tradisi bertani itu sangat dipengaruhi oleh sistem adat yang berlaku
Sistem adat yang berlaku di setiap suku di Flores tentunya berbeda-beda. Ada sistem adat yang masih sangat kuat mewariskan segala macam adat, termasuk tradisi bertani mereka kepada anak cucu mereka.
Namun, tidak bisa disangkal bahwa pewaris tradisi adalah para orangtua yang umumnya belum mengenyam pendidikan tinggi seperti generasi muda pada umumnya saat ini.
Kematian generasi yang adalah pewaris tradisi bertani ternyata punya dampak besar sekali pada konsep kelanjutan (kontinuitas) dari tradisi bertani itu sendiri.
Saya masih ingat kakak dari ayah saya dulunya selalu setia dengan tradisi bertani yang lengkap dengan ritual adat dan kearifan lokal di dalamnya. Ada macam-macam upacara seperti, seperti: ada dhera noro, pa mopo, gore, jenda dan beberapa lainnya. Tradisi bertani bersama dengan kearifan lokal seperti itu umumnya hidup di daerah wilayah Ende bagian barat.