Perhatikan angka inflasi biar tidak gampang menghakimi, tetapi belajar melihat dalam keseimbangan dengan keadaan negara-negara lain.
Sanksi ekonomi yang bersahut-sahutan antara Rusia dan negara-negara Uni Eropa (EU) semakin menyeret keadaan ekonomi global ke gerbang krisis yang sesungguhnya.
Waspada terhadap ancaman krisis global memang sudah disinyalir sejak awal oleh sebagian besar pemimpin negara. Indonesia tentu salah satunya yang berbicara tentang dampak dari krisis Rusia-Ukraina.
Krisis Rusia-Ukraina sampai saat ini belum punya titik terang, bahkan bisa dikatakan titik buram berkelabu membaur dan menyebar bagaikan debu letusan gunung berapi. Debu dan hawa panas lava meleleh menepis negara-negara Uni Eropa hingga kepanasan saat ini.
Ada dua fenomena yang patut menjadi kajian pemimpin-pemimpin dunia saat:
1. Kebangkrutan lembaga perbankan Eropa
Media online RUHR 24 merilis berita dengan judul, "Lembaga perbankan bangkrut: Ribuan pelanggan di Jerman terpengaruh." (8/09/2022). Â Sorotan utama berita ini lebih terarah kepada pailitnya bank Belanda dengan pelanggan Jerman yang banyak sekali terkena imbasnya.
Tidak hanya itu ternyata Sberbank Europa yang berbasis di Wien telah secara resmi mengajukan kebangkritan pada bulan Maret 2022 lalu. Tentu fenomena itu menyisakan pertanyaan yang menakutkan: siapa yang menyusul dan siapa korban berikutnya?
Jelas sekali dalam sorotan berita itu bahwa lembaga perbankan dengan kantor pusat Amsterdam, Belanda yang didirikan sejak tahun 1994 itu mengajukan kepailitannya dengan konsekuensi tidak enak pada ribuan pelanggan Jerman.
Lagi-lagi bukan hanya Sberbank, tetapi juga bahwa Amsterdam Trade Bank yang terkenal di Jerman dengan nama FIBR Bank juga diisukan akan segera mengajukan kebangkrutan (involvens).
Mengapa lembaga perbankan Belanda mengalami kebangkrutan? Kebangkrutan ini sudah jelas karena bias dari sanksi Rusia dan bahwa lembaga perbankan Belanda punya koneksi dengan lembaga perbankan Rusia.