Seperti bunga di musim semi, mekar di pinggir jalan tanpa terdengar sorak sukacita. Mekar dalam sunyi di bawah sinar matahari yang tak pernah gaduh karena memberi cahaya dan kehangatan.
Begitu juga bunga mekar tanpa kata-kata dan tanpa ungkapan rasa rindu pada lebah hitam. Namun mengapa lebah hitam itu datang dan terburu-buru mencumbui kembang indah itu?
Wahai lebah hitam, adakah perjanjian sejak dulu kala bahwa kamu berhak atas keindahan bunga-bunga? Kamu seperti sedang merampas keindahan kuntum pertama di musim semi tahun 2022.
Ini bukan tuduhan, tapi kenyataan bahwa kamu orang pertama yang begitu terburu-buru mendekap dalam kuntum-kuntum indah di pinggir jalan itu, hingga kering dan gugur.
Aku belum siap melihat caramu merampas peluang dan keceriaan mereka di pinggir jalan. Sari-sari dan embun kecil dihisap mu begitu cepat, lalu pergi meninggalkan bunga-bunga di pinggir jalan.
Tahukah kamu, bahwa keindahan bunga-bunga itu tidak diperhitungkan secara khusus saat perang itu datang? Bunga-bunga itu seperti anak-anak dan ibu-ibu yang penuh harapan berdiri di pinggir jalan meminta bantuan penginapan.
Tapi, kamu mengambil embun sejuk pada tangkai kehidupan mereka tanpa janji untuk menjaga, menjamin kehidupan mereka dan masa depan anak-anak mereka.Â
Mereka terdiam tanpa protes, kecuali ingin lari dari dekapan lebah hitam pagi-pagi. Blusukan lebah hitam terus mengusik rindu sunyi bunga-bunga di pinggir jalan.
Sampai kapankah kau bisa merasakan lelah mengusik kedamaian mereka? Haruskan semua manusia di muka bumi ini buka mulut dan berteriak berhenti memburu bunga-bunga itu?
Bunga-bunga dalam jeritan sunyi ibu-ibu dan anak-anak di tanah pengungsian.Â