"Guru adalah pelita bagi anak didik. Anak-anak didik membutuhkan terangnya."
Siapa saja yang sudah menjadi orang pasti pernah mengenal figur seorang guru. Demikian juga, setiap orang yang berpendidikan, pasti pernah mengenal guru.Â
Guru dan pendidikan formal tidak bisa dipisahkan kedekatan hubungannya. Tidak ada pendidikan formal tanpa kehadiran seorang guru. Demikian juga tidak ada pencerdasan tanpa peran seorang guru.
Bagaimanapun lukisan wajah guru pasti berbeda-beda gaya dan cara dari masa ke masa. Sebagai seorang yang pernah mengalami pendidikan di masa 1980-an, saya mengenal guru sebagai pendidik yang pada tangannya selalu ada rotan atau mistar kayu.
Tidak heran pada masa itu gema dari pepatah "Di ujung rotan itu ada emas" terdengar begitu kencang membentengi metode pengajaran guru-guru di sekolah. Meskipun demikian, tidak sedikit juga bahwa tindakan keras guru di sekolah menuai protes dari orang tua.
Saya pernah menyaksikan bahwa hampir setiap acara pembagian rapor pada akhir semeter selalu saja ada diskusi dan pertengkaran antara orang tua terhadap guru-guru tertentu yang sering menggunakan "tangan besi."
Pertanyaannya, mengapa guru-guru pada masa itu merasa begitu nyaman dengan tindakan kekerasan? Apakah pada masa itu lebih dipengaruhi rezim pada saat itu?
Jika saya kembali mengenang tindakan tegas dan keras guru-guru pada masa itu, maka saya juga mengatakan bahwa guru-guru itu telah diselamatkan oleh Undang-undang tentang Perlindungan Anak Tahun 2014.
Pertanyaannya, mengapa Undang-undang Perlindungan Anak disebut telah menyelamatkan guru? Berikut ini ada 3 alasannya:
1. Melalui Undang-undang itu mulai ada penurunan kasus kekerasan di sekolah
Masa sebelum diberlakukannya Undang-undang Tahun 2015 adalah masa suram karena tindakan kekerasan di sekolah tanpa protes yang masif. bahkan anak didik lebih memilih diam dan menerima daripada protes atau memberitahu orang tua mereka dan melaporkan ke pihak yang berwenang.