Kerjasama dalam semangat berbagi wawasan dan gagasan adalah cara yang tepat untuk hidup di tengah krisis covid19.
Petani milenial merupakan sebutan untuk para petani muda dengan tingkat kreativitas tinggi di satu sisi dan juga kemungkinan keterbukaan pada akses komunikasi sosial dengan menggunakan media sosial sebagai sarana yang mendukung usaha mereka pada sisi lainnya. Petani milenial saat ini berkembang marak sampai ke seluruh pelosok Indonesia.
Sebutan petani milenial rupanya masih sangat terbuka, bahkan tanpa ada batasan formal. Milenial lebih karena rasa bahwa para petani itu sendiri selalu berjuang mengupdate diri mereka dengan perkembangan zaman dan kemajuan informasi global saat ini.
Tulisan ini lebih mengambil fokus pada keadaan petani milenial yang ada di desa-desa khususnya di NTT. Alasan saya sederhana dari merekalah saya melihat dan mengalami suka duka dan dilema yang mereka hadapi hingga saat ini.
Ya, tema yang sangat menarik tentunya disoroti Kompasiana kali ini. Perhatian pada sektor pertanian tidak boleh dilihat sebelah mata, karena dari sektor pertanian lah orang bisa bicara tentang negara yang bisa memberi dan bukan membeli. Bahkan orang bisa bicara tentang bangsa yang mengekspor dan bukan mengimpor.
Dilema petani milenial saat ini bukan cuma berhadapan dengan tantangan perubahan cuaca, permainan pasar dan tingkat pendidikan, tetapi juga berhadapan dengan fenomena global "The Big Quit."
Fenomena global "The Big Quit" atau pengunduran diri hebat dari dunia kerja di berbagai perusahaan baik di dalam maupun luar negeri tentu memberikan dampak pada ketertarikan baru (Neue Interesse) pada dunia pertanian.
Fenomena The Big Quit lahir karena terpaan Covid19?
Fenomena unik "The Big Quit" lahir secara masif sejak dua tahun terakhir ini. Ya, secara khusus di Amerika Serikat paling merasakan lahirnya fenomena itu. Ahli statistik dari departemen  tenaga kerja merilis data tentang perkembangan yang tidak biasa  untuk pertama kalinya bahwa terjadi pengunduran diri itu mencapai angka 3,99 juta orang.
Angka 3,99 juta itu ternyata bukan angka statis dalam setahun, melainkan angka yang terus meningkat secara dinamis dan signifikan. Dari angka 3,99 pada musim semi ternyata meningkat hingga mencapai angka 4 juta pada musim panas, bahkan pada Agustus 2021 sudah mencapai angka 4,27 karyawan.
Tidak heran fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) itu disebut sebagai "The Great Resignation" atau "The Big Quit." Situasi itu tentu menimbulkan pertanyaan, apa alasan mendasarnya? Cukup menonjol alasan utamanya adalah oleh karena ketidakpuasan karyawan pada dinamika yang tidak terlalu memberikan ruang fleksibilitas di masa pandemi.