Sukacita besarnya dana desa harus diimbangi dengan perubahan-perubahan nyata di tengah kehidupan masyarakat desa. Dana desa selayaknya untuk kesejahteraan masyarakat desa dan bukan aparat desa.
Topik pilihan Kompasiana kali ini bagi saya sungguh menantang. Ya, membuka wacana diskusi dan ulasan-ulasan terkait kenyataan bagaimana dana desa rentan korupsi  mestinya sudah menjadi tema aktual sejak lama.Â
Sekurang-kurangnya tema tentang dana desa telah menjadi begitu penting sejak masa jabatan pemerintahan Jokowi. Jokowi tidak bisa dipisahkan dari cerita sorak-sorai aparat desa di mana-mana.
Pahlawan tanpa penghargaan yang dipuji di pedalaman tanah air cuman karena keberaniannya menaikan dana desa hingga miliaran rupiah.Â
Tidak heran jika ada ucapan, "masa Jokowi penampilan aparat desa selalu memang beda dan lebih berbeda dari sebelumnya."
Perubahan dan perbedaan yang cuma dilihat pada segelintir orang, seperti cuma pada aparat desa telah mendatangkan gejolak tatapan kritis masyarakat biasa, hingga geleng-geleng kepala.
Belum lagi aparat desa punya lingkaran orang-orang pendukungnya yang juga hidup dalam kelimpahan rezeki dana desa dan dana-dana lainnya yang diatur seturut kriteria kepala desa sesuka hatinya.
Prediksi dan keluhan masyarakat biasa yang tidak berdaya tentang gaya dan pola hidup aparat desa, telah menjadi cerita yang merebak hingga hampir ke semua pelosok tanah air Indonesia.
Ada kesan-kesan yang tidak berani diungkapkan secara terbuka bahwa aparat desa bahkan meniru gaya-gaya kepemimpinan era orde baru hingga sampai pada kenyataan pejabat desa adik dan keluarga dekatnya.Â
Bahkan mobil desa dipakai seperti mobil dinas yang hanya boleh ditumpangi oleh aparat desa dan keluarganya.Â