Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Toxic Positivity Itu Tidak Selamanya Negatif

29 Juli 2021   14:42 Diperbarui: 5 Agustus 2021   08:35 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi untuk Toxic positivity yang berdampak pada kesembuhan pada penderita kanker | Dokumen dari: neuernarrative.de

Perpaduan Toxic positivity, kata-kata yang memotivasi, air dan keyakinan spiritual bisa saja menjadi kekuatan yang mengubah dan menyembuhkan.

Umumnya orang tahu bahwa memaksakan kehendak orang lain itu tidak baik, ya namanya "memaksakan" apapun itu kaitannya pasti nantinya akan menjadi tidak enak, tidak baik dan lain sebagainya.

Demikian juga fenomena yang terkandung dalam istilah Toxic positivity juga bisa dikatakan tidak baik. Pemahaman istilah Toxic Positivity selalu berkaitan dengan kata kerja "memaksakan" baik itu memaksakan orang lain atau diri sendiri untuk berpikir positif.

Meskipun demikian, pengalaman seseorang bisa saja berbicara sangat berbeda, selain yang terjadi umumnya hingga ada konotasi bahwa Toxic positivity itu negatif.

Pada tahun 2016 saya tidak tahu persis hari dan tanggalnya. Namun tahun itu mengingatkan saya suatu peristiwa yang bisa saya katakan saat saya sendiri belum tahu apa itu Toxic positivity dan telah mencoba masuk ke dalam fenomena itu. 

Pertanyaannya, salahkah diriku jika aku pernah melakukan itu? Saya ingin berbagi kisah kecil penuh haru yang memberanikan saya berani berkata lain bahwa Toxic positivity, tidak selamanya negatif.

Kisah saya: Toxic positivity, tidak selamanya negatif

Saya punya seorang teman yang karena hobi bermain tish tenis berkenalan dan menjadi akrab. Dia seorang Polandia. Pada masa-masa kursus bahasa kami berkenalan, ya gara-gara pingpong.

Dalam satu kesempatan kami bertemu dalam satu ruangan olahraga dan teman-teman mahasiswa lain belum datang. Akhirnya kami berkenalan dan bermain pingpong.

Tidak saya duga bahwa dia bermain begitu bagus, dengan gaya khas backhand yang bagi saya sempurna. Dia adalah seorang mahasiswi yang berkecimpung dalam satu organisasi besar dengan fokus perhatian untuk orang-orang muda di Krakow, Polandia.

Emilka namanya, duh saya jadi terbawa kembali ke kenangan masa itu. Ya saya ingat kami sama-sama berjuang berbicara bahasa Jerman, hingga suatu saat dia bercerita tentang mimpinya, "aku bermimpi pada suatu waktu kamu memberikanku cincin yang berkilau-kilau," katanya.

Toxic positivity yang menghibur

Dalam hati kecilku, saat ia bercerita demikian, "apa-apaan ini ?" Jantung berdebar banget lho. "Ya, aku seorang Indonesia yang adalah manusia biasa, yang punya hati, perasaan dan cinta." Ehm...ehm... itu  Toxic positivity ku yang paling menghibur.

Saya terpesona dengan mahasiswi Polandia itu. Dia selalu mengajak saya mencari teman duet pingpong atau juga bisa cari teman untuk bernyanyi dan dia bermain gitar.

Wow saat yang sangat menyenangkan. Suaranya sangat merdu, begitu halus petikan gitarnya dan beberapa keunggulannya lainnya yang secara manusiawi hampir begitu sering larut dalam Toxic positivity tanpa tahu itu sebuah manipulasi rasa.

Ya, saya hanya ingin terus dekat dan berkomunikasi dengannya bahkan sampai suka nasihat positif. Ya benar-benar sebuah Toxic positivity.

Menariknya bahwa kami sama-sama pada tahun itu belum mengenal istilah Toxic positivity. Karena bagi kami, jika ada fenomena itu, kami selalu menerimanya sebagai suatu bentuk dukungan yang indah, seakan-akan tanda perhatiannya yang khusus.

Suatu waktu Emilka menderita sakit kanker. Tanpa terus terang bercerita sakit kanker apa. Dia selalu enggan mengatakan pada saya, apa jenis kankernya.

Saya tidak mau memaksakan nya, karena terlihat dia sedang dalam dilema besar antara malu berkata jujur dan kebutuhan psikisnya untuk merasakan support dari saya.

Saya berusaha lebih tenang dari dia yang begitu sedih dan murung karena baru saja menerima vonis dokter tentang keadaannya.  Ya, ia menderita kanker.

Saya mendengar dan terus mendengar segala curahan hatinya, tanpa banyak berkata-kata atau berusaha masuk dalam fenomena Toxic positivity.

Ilustrasi untuk Toxic positivity yang berdampak pada kesembuhan pada penderita kanker | Dokumen dari: neuernarrative.de
Ilustrasi untuk Toxic positivity yang berdampak pada kesembuhan pada penderita kanker | Dokumen dari: neuernarrative.de

Namun, pada saat terakhir sharing kami, saya mula-mula menyadari bahwa sangat penting pada saat itu adalah bahwa saya bisa menolong untuk mengubah pikirannya.

Ia begitu stress, sampai-sampai berbicara dengan nada dan rasa penuh keputusasaan, seakan-akan hidup ini sudah hampir berakhir semuanya bahkan terasa lebih kritis dari pesan peribahasa "hidup sudah diujung tanduk."

Waktu itu saya coba datang ke alam pikirannya dengan latar pemahaman kulturnya yang sangat dekat dengan alam spiritual. Saya tahu itu, dia seorang yang percaya pada kekuatan yang melampaui manusia.

Saya bertanya kepadanya, "apakah kamu percaya bahwa kamu akan sembuh?" Katanya terburu-buru, "Kamu gila" Saya berusaha tetap tenang dan sekali lagi bertanya, "Pernahkah kamu dengar bahwa situasi sulit yang dihadapi manusia tiba-tiba saja berubah?"

"Ya tentu, tapi pasti tidak akan terjadi pada diri saya," katanya. "Nah, justru itu yang perlu diubah. Cara pikirmu mesti diubah," kata saya sedikit ada aroma Toxic positivity.

"Cerita tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia itu benar terjadi dialami banyak orang, cuma orang tidak mau bercerita dengan terus terang saja. Orang malu bercerita tentang hal yang melampaui pikirannya, nanti orang bilang, you are crazy," demikian peneguhan kecil dari saya waktu itu.

"Ja, klar, tapi tetap saja tidak mungkin hal seperti itu terjadi pada saya," protesnya masih saja menjadi-jadi. "Lagi-lagi, sebenarnya, kamu cukup berkata mungkin dan mungkin....perubahan itu bisa saja terjadi pada diri kamu, bisa...bisa dan bisa....Tuhan itu baik." Toxic positivity saya waktu itu.

Lalu, ia bertanya, "dengan cara apa perubahan itu bisa terjadi, kanker saya bisa sembuh?" "Tunggu...tunggu, yang penting kamu harus tenang dulu, dan sudah bisa katakan "mungkin," maka saya akan memberitahu kamu caranya." Ni....Toxic positivity terussss kan?

Ia tampak memejamkan matanya, namun dengan wajah yang begitu sedih. Saya melihat air matanya jatuh beberapa tetes. Saya juga merasakan kesedihannya.

"Emilkaaaa, sekarang saya mengambilkan air putih satu gelas buat kamu, saya mau kamu sendiri bisa katakan kerinduanmu pada air ini, bahwa kamu ingin sembuh dari kanker." Kata saya dengan sangat tenang waktu itu. 

Ia lalu menerima air itu, sambil menatap dalam-dalam air itu ia berdoa rupanya dan entah apa yang ia katakan dalam bahasa ibunya saya sendiri tidak mengerti. Lalu ia meminum air itu.

"Emilka, sejauh mungkin kamu lakukan itu setiap hari, ya 3 kali sehari, saat bangun tidur, saat siang dan pada waktu sebelum tidur." Nasihat saya lagi. 

Tapi jawabnya juga sudah terasa begitu tenang waktu itu, "Terima kasih ya." Sambil menatap saya. Duh jantungku berdebar banget lho saat itu. 

"Aku dukung kamu dan kamu pasti sembuh. Suatu waktu kita pasti bisa bertemu di meja hijau lagi, maksudnya di meja pingpom lagi. Dua minggu Emilka melakukan terapi, dengan cara yang paling sederhana tanpa biaya itu.

Ya, ia cuma berkata pada air tentang kerinduannya yang paling dalam itu. Ia kemudian kembali ke dokter untuk mengecek keadaannya kankernya. Ternyata kankernya tidak ada perubahan apa-apa.

Ia datang dengan wajah begitu kecewa karena seakan-akan cara yang pernah diajariku adalah cara konyol, belum lagi pakai Toxic positivity pula: kamu harus....banyak yang bisa seperti itu dan lain sebagainya.

"Emilka, jangan putus asa, kamu harus melakukannya sekali lagi dengan tulus dan pasrah seakan-akan tidak ada ara lain lagi dan cara berkata pada air tentang kerinduanmu itu adalah cara andalanmu satu-satunya," motivasinya yang sulit dibedakan dengan Toxic positivity.

Vonis terakhir dokternya adalah bahwa dalam waktu satu minggu lagi Emilka harus dioperasi. Sedihnya luar biasa, ia tampak begitu takut. 

Lagi-lagi, bermain Toxic positivity, "Emilka, tolonglah kamu harus lakukan sekali lagi lebih intensif dalam waktu satu minggu sebelum foto rontgent untuk proses operasi. Siapa tahu dalam waktu satu minggu ini, terjadi perubahan itu. Mukjizat itu bisa juga nyata, bukan saja pada orang lain, tetapi pada dirimu juga."

Seminggu berakhir, ia membawa beberapa temannya ke dokter untuk menunggu proses operasinya. Saya sudah pulang ke Mainz dan hanya mendapatkan kabar pada waktu itu dia segera dioperasi.

Tiba-tiba pada siang hari saya di teleponnya dengan suara yang aneh. Ia menangis campur gembira sambil berteriak-teriak, "oh Tuhan....Tuhan...terima kasih...terima kasih."

Saya hanya penasaran, kenapa ya, tiba-tiba jadi seperti itu. Gak jadi operasi atau apa ya? Tanya dalam hati saya. Emilka katakan bahwa dirinya sudah sembuh, jadi tidak perlu dioperasi lagi, ya berdasarkan hasil foto yang terakhir.

Katanya, "dokter sendiri begitu heran." Teman-temannya juga ikut menangis. Emilka sembuh dari kankernya. Hingga sekarang, Emilka masih aktif bekerja di Krakow Polandia, kadang-kadang ia mengirimkan pesan pada saya.

Ada beberapa point pesan dari cerita ini:

1. Toxic positivity tidak selamanya negatif, tergantung situasi. Lakukan itu dengan tulus dan jujur untuk menolong bukan dengan kekuatan pikiran, tetapi dengan kekuatan hati dan kepercayaan yang bisa mengubah pikiran.

2. Perpaduan air dan kata-kata positif yang lahir dari kerinduan yang sangat dalam itu adalah obat spiritual yang menyembuhkan.

3. Lakukan sesuatu dengan tujuan yang baik dan dengan keyakinan yang mendalam, maka semuanya akan berubah menjadi baik.

4. Ini bukan Toxic positivity untuk pembaca, tetapi sebuah cerita yang berangkat dari pengalaman pribadi. Minum air putih dan kata positif apanya yang rugi?

Demikianlah cerita nyata yang berangkat dari ketidaktahuan apa itu Toxic positivity, kemudian beranjak ke alam pikiran dengan latar spiritual yang berbasiskan hati dan keyakinan, hingga berakhir dengan sukacita besar.

Salam berbagi, ino, 29.07.2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun