Dari sungai dan air, anak-anak belajar tentang bagaimana dinamika hidup, kedalaman, kebenaran dan keberagaman nada-nada musik serta gema dari segala sesuatu yang baik.
Sampai dengan saat ini mungkin masih merupakan misteri yang belum terungkap mengapa anak-anak suka bermain air? Perhatikan anak-anak kecil di rumah kita masing-masing, mereka sangat menyukai air bukan?
Tidak heran kalau mereka sedang mandi, kadang mereka menepuk air, kadang berusaha menyirami temannya, kadang basahi pelan-pelan kepalanya, dan beberapa hal lainnya yang begitu dinikmati.
Pengalaman masa kecil saya sendiri juga demikian, hal yang paling menjengkelkan adalah ketika sedang asik-asiknya mandi bareng di sungai, lalu dipanggil ibu untuk melakukan sesuatu yang lain.
Kenikmatan hubungan anak-anak bersama air rupanya selalu menjadi target. Anak-anak menginginkan agar semuanya tidak cepat berlalu. Adakah penelitian yang berusaha membahas bagaimana hubungan anak-anak usia belajar bersama air?
Rasanya belum dilihat secara lebih detail, bagaimana kedekatan itu sebagai yang punya dampak edukasi. Setelah saya amati kembali masa kecil, ternyata ada beberapa hal ini, yang memang menjadi alasan sangat penting mengapa sungai perlu dijaga kebersihannya.
1. Sungai sebagai tempat belajar tentang ilmu kehidupan bagi anak-anak
Anak-anak yang berenang di sungai umumnya aktivitas itu terjadi pada waktu setelah jam sekolah. Apalagi dalam konteks sekolah di desa. Cuma sayangnya, saya belum pernah melihat guru membawa anak-anak ke sungai menjelaskan tentang cara berenang dan lain sebagainya.
Rupanya sungai sebagai tempat belajar anak-anak itu dipahami dari ketertarikan anak-anak sendiri pada air. Kesukaan itu sebenarnya adalah peluang untuk belajar lebih lagi tentang ilmu kehidupan.
Mengapa ada peribahasa, "sambil menyelam minum air"? Ya, justru karena orang pernah mengalami bahwa betapa berartinya pada saat orang melakukan sesuatu, ia belajar juga tentang yang lainnya.
Cuma, wawasan kita yang mungkin belum sampai pada pemahaman bahwa sungai juga sebagai tempat belajar. Saya juga baru sadar ketika menggarap tema sungai saat ini dan setelah merenungkan kembali masa kecil.
Sungai sebagai tempat belajar bukan sebagai ide khayalan, tetapi ide yang muncul dari pengalaman sendiri. Saya ingat saat belajar berenang itu ternyata bukan saat mudah.
Kalau menyelam itu jauh lebih mudah, tetapi berenang dengan kepala di atas air, kemudian badan dalam keadaan terapung dengan bantuan gerakan kaki dan tangan, itu tidak mudah.
Ya, di sana anak-anak belajar tentang keseimbangan fisik dan belajar supaya tidak tenggelam. Tenggelam yang dimaksudkan bukan saja tenggelam fisik, tetapi juga "tenggelam bagian kepala" atau tanpa perspektif, sehingga dia tidak bisa melihat ke sekitarnya, ya tidak bisa melihat peluang dan tantangan.
Ilmu kehidupan yang saya maksudkan adalah bahwa di sungai anak-anak mengerti bahwa untuk hidup atau supaya tidak tenggelam itu, orang harus menggerakan kaki dan tangannya.
Sebenarnya ilmu kehidupan yang bisa dipelajari dari sungai itu adalah anak-anak mengerti betapa pentingnya kreativitas dan dinamika atau sederhananya perlu menjadi aktif.
Saya kira cukup banyak orangtua yang menjadi kebingungan jika melihat anak-anak mereka tidak aktif. Anak-anak yang tidak aktif bisa saja karena sakit. Anak-anak yang sehat dan normal pasti sangat aktif dan pasti suka bermain air atau suka bermain di sungai.
2. Sungai sebagai pelajaran tentang apa artinya "kedalaman."
Pelajaran tentang mengukur kedalaman itu saya pelajari sejak masa kecil. Kalau saya ingat lagi cara-cara sederhana masa itu, rupanya benar juga dengan kata pepatah, "Air beriak tanda tak dalam." Mungkin saja peribahasa itu relevan untuk konteks kita di Indonesia saat ini.
Kontes krisis Covid-19 di mana ada begitu banyak orang terpapar, kemudian begitu keras perjuangan pemerintah untuk mengatasi dan menolong masyarakat, tetapi ada juga yang sukanya berteriak, demonstrasi di jalan dan lain sebagainya. Mungkinkah itu tanda dari kedangkalan pemahaman?
Teori sederhana yang sering kami pada masa kecil gunakan untuk mengukur kedalaman air adalah dengan dua cara:
Pertama, melempar batu ke dalam kolam di sungai dan mendengar bunyi air
Cara paling sederhana untuk mengukur kedalaman air adalah dengan melempar sebuah batu ke tengah-tengah kolam tempat yang kami suka berenang itu, setelah itu kami dengarkan bunyinya. Jika bunyinya kecil, maka harus hati-hati karena bagian itu sangat dalam.
Sebaliknya, ketika kita melemparkan sebuah batu pada bagian periferi, maka terdengar bunyi yang jauh lebih besar dan ribut. Nah, sangat jelas, bahwa tempat itu sangat dangkal.
Ilmu seperti itu, sudah kami pelajari sejak kecil, bukan di sekolah, tetapi di sungai tanpa ada kehadiran guru pendamping. Bisa jadi akan lebih baik lagi, jika hal seperti itu masuk dalam kategori pelajaran tentang ilmu alam. Guru-guru dan muridnya bisa pergi ke sungai untuk mencoba dan menjelaskan hal-hal seperti itu.
Kedua, dengan melihat perubahan warna air
Pelajaran membedakan warna itu sangat mudah, air yang dalam itu punya warna biru atau bahkan terlihat sedikit lebih gelap, semakin tua warnanya, artinya itu sangat dalam.Â
Tentu berbeda dengan warna yang biru muda dan cerah, orang sudah bisa langsung melihat dasarnya. Sudah dapat dipastikan bahwa itu bukan merupakan sisi yang dalam.
3. Sungai sebagai tempat belajar mencari nafkah dengan cara yang benar
Sisi lain dari sungai adalah anak-anak bisa belajar mencari sesuatu yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Saya masih ingat saat-saat yang menyenang waktu dulu.
Bersama rombongan teman-teman seusia pergi ke sungai mencari udang. Memang pada waktu itu hal yang menyenangkan cuma dari sisi hasilnya saja, tetapi dari sisi pesannya kami semua belum sampai menangkapnya.
Nah, saat ini ketika saya melihat kembali ke belakang sebenarnya di sungai itulah kami belajar mengenal apa artinya mencari nafkah dengan cara-cara yang benar dan layak.
Makanya tidak heran pula ada peribahasa, "ada udang dibalik batu." Pemahaman itu bisa saja muncul dari pengalaman bahwa bagi anak-anak yang mencari udang, tidak hanya lihat di tempat yang terang saja, tetapi harus melihat juga dibalik batu.
Kenyataan menunjukkan bahwa ada banyak udang yang bersembunyi dibalik batu. Tentu, lagi-lagi selain kenyataan, ungkapan itu punya makna sendiri terkait kejujuran motivasi seseorang dalam sesuatu yang dilakukannya.
Ya, tujuannya harus juga lurus, bukan ada U dibalik B hahaha ungkapan singkat yang kadang elegan juga sih. Nah, kejujuran dan kebenaran cara seseorang sudah menjadi bagian dari pelajaran anak-anak saat berada di sungai.
Lagi-lagi huruf B, jadi ingat kode B itu di Jerman juga penting, tapi namanya vitamin B atau Beziehung artinya orang mendapatkan sesuatu karena Beziehung atau hubungan dan bukan kualitas atau prestasi atau hal lainnya yang objektif.
4. Sungai sebagai saat kami belajar bermain musik
Ada satu cara sederhana bermain musik dengan menggunakan air. Musik itu adalah suara yang dihasilkan sebagai akibat dari persilangan dua telapak tangan dengan pukulan yang bertentangan dari atas permukaan air ke arah dalam air.Â
Bunyinya terdengar seperti suara gendang. Suara itu akan berbeda-beda jika dimainkan oleh beberapa orang pada tingkat kedalaman air yang berbeda.Â
Pada bagian yang semakin dalam, bunyinya akan semakin besar dan bahkan bisa menghasilkan gema (echo) yang cukup jauh dan bisa terdengar orang lain dari jarak sekitar 100 meter.Â
Kenangan itu bagi saya sungguh seru dan sangat menarik. Di sungai ternyata kami belajar berkreasi menghasil suara alam yang menyerupai nada-nada musik modern lainnya.
Dari beberapa ulasan tentang sungai sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak, saya akhirnya bisa menarik tiga poin sebagai kesimpulan:
1. Sungai perlu dilindungi, seberapa pun kreatifnya guru bahkan mau menuntun anak-anak untuk mengalami pelajaran tentang alam dan lain sebagainya, hal itu tidak bisa dilakukan kalau di sana cuma ada sungai, tapi tidak ada airnya.
Sungai kering sebenarnya sudah menjadi problem tersendiri yang mungkin perlu dikaji lebih dalam lagi. Ada banyak sekali proyek penambangan pasir yang membongkar pasir sampai terjadi dampak peresapan air yang begitu ekstrim, bahkan nyata-nyata telah merusak ekosistem alam di sekitarnya.Â
Tidak air, ya bagaimana bisa hidup?
2. Pelajaran ekstrakurikuler mestinya juga sampai pada wawasan tentang hubungan anak-anak dan air. Ya, tentu sangat menarik, jika anak-anak sampai bisa menikmati pesan-pesan di atas, tapi juga mungkin bagi mereka terlalu dini.
Meskipun demikian sebagai suatu pengalaman mungkin saja itu penting, yang pada akhirnya menuntun mereka kepada pemahaman tentang kehidupan, kedalaman, kejujuran, tentang dinamika hidup dan lain sebagainya.
3. Pendidikan kita terlalu punya jarak dengan terjun langsung ke alam. Hubungan alamiah itu sudah ada, kemudian oleh karena tuntutan formal pendidikan itu, jarak hubungan (Beziehung) anak-anak dengan alam (air, sungai dan lain sebagainya) menjadi begitu jauh hingga dibiarkan bebas tanpa bimbingan guru. Padahal hubungan mereka itu (anak-anak dan sungai) seperti tidak bisa dipisahkan lagi.
Demikian beberapa ulasan yang berangkat dari pengalaman masa kecil di pelosok yang tidak punya pilihan berenang di kolam buatan, selain sungai alam dengan segala macam yang terjadi di dalamnya. Tidak terduga, ternyata dibalik itu semua ada pelajaran yang berarti sekurang-kurangnya untuk diri saya.Â
Ya, saya percaya siapa saja punya cara pandang sendiri tentang hal yang sama. Oleh karena itu, cuma ada ajakan mari kita berbagi, agar kita semua sama-sama diperkaya.
Salam berbagi, ino,23.07.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H