Kata yang tertulis, wajah yang terlihat, suara yang terdengar, doa yang terucap itulah kepastian bahwa kita masih hidup. Mengapa perlu cemas?
Tingkat kecemasan manusia sangat bergantung pada situasi apa yang sedang dihadapi saat ini. Semakin sulit orang menemukan solusi terhadap suatu persoalan, maka semakin besar kecemasan yang akan mendera hati dan pikirannya.Â
Konteks krisis covid19 di Indonesia saat ini sudah pasti mendatangkan kecemasan semua orang, apalagi bagi anggota keluarga yang oleh karena tugas dan pekerjaan tertentu, mereka harus terpisah jauh satu dengan yang lainnya.
Tentu dari krisis itu selalu saja ada hal baru yang ditemukan. Tidak heran dari asal kata Yunani kata krisis itu berkaitan dengan keputusan baru.
Di tengah krisis covid ini, sudah sejak awal begitu banyak orang telah mencoba membangun jembatan hubungan dan komunikasi online. Ya, sebuah jembatan yang melintasi ruang fisik dan melampaui segala benua dan belahan bumi.
Berangkat dari pengalaman keluarga sendiri yang tersebar di beberapa tempat berbeda seperti di Kalimantan, Malaysia, Jakarta, Flores dan Jerman, kami punya kecemasan yang sama. Saya yang jauh cemas dengan keadaan mereka, demikian juga mereka cemas dengan keadaan saya.
Oleh kecemasan itulah, maka sangat sering saya mendengar pertanyaan dari keluarga saya seperti kapan libur atau kapan pulang kampung.Â
Kami sendiri bahkan tidak pernah menyadari dengan cara apa untuk mengobati kecemasan kami, namun yang nyata terjadi sejak krisis covid ini adalah kami cukup sering video call bersama, ya istilah kerennya sambung empat.
Komunikasi intens melalui video call sambung empat itu memiliki sisi ampuh mengobati rasa cemas. Sederhana saja sebenarnya, karena video call itu sendiri membuat orangtua generasi dulu tercengang dengan kemajuan teknologi.
Semakin tercengang rasanya semakin ampuh menghilangkan kecemasan yang ada. Saya masih ingat pertama kali, saya video call dengan ibuku, ibuku melihat melalui layar Hp terasa begitu dekat.Â
Katanya, "oh anakku, kamu begitu dekat, saya ingin memegang tanganmu, tapi sayang sekali, saya tidak bisa merasakannya." Dalam ekspresi bahasa daerah, terasa sungguh-sungguh lucu, campur haru. Ya, tidak bisa melupakan kisah itu, bahkan kisah itu menjadi kisah seru setiap kali kami telponan sambung empat.Â