3. Perlu adanya refleksi tentang Zither sebagai alat musik yang tidak lagi menghasilkan musik.Â
4. Komitmen bersama kami adalah berapa pun orang yang datang ke acara ini, acara itu akan tetap dilaksanakan.
Kenyataan yang menarik bahwa pada Jumat, 19 Maret 2021 lalu, acara itu telah berlangsung dan secara sangat mengejutkan bahwa ada 45 orang yang hadir pada acara itu.Â
Tentu bukan kebanggaan tentang jumlah orang sih, tetapi apa yang bisa kami bagikan dalam acara itu. Nah, oleh karena itu, saya menuliskan 4 hal penting yang direfleksikan pada waktu itu berkaitan langsung dengan konteks korona di Jerman tentunya.
1. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita (bdk. Buku Mazmur 137:2)
Kalimat "Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita" terasa begitu nyata saat ini khususnya di Jerman. Padahal sebelum Covid-19 pesona musik-musik klasik tua itu bisa didengar di mana-mana, bahkan di jalan-jalan, di pasar, di area sekitar pertokoan, pemusik-pemusik jalan bermain musik sesuka hati mereka untuk menghibur dan juga mencari koin untuk kehidupan sehari-hari mereka.
Namun, sekarang tidak ada lagi musik yang mengiringi nyanyian, tidak ada lagi waktu untuk nyanyian, waktu untuk lagu, waktu untuk menari dan bernyanyi sudah berakhir. Waktu tanpa musik, waktu tanpa seni, waktu tanpa instrumen yang yang bisa dinikmati bersama teman-teman dan keluarga.Â
2. Waktu tanpa seni adalah waktu yang menyedihkan
Selama setahun, orang harus mengalami bagaimana rasanya  harus melakukan sesuatu tanpa seni  dalam berbagai bentuk ekspresi, tentu untuk alasan yang baik.Â
Pertanyaan adalah apakah hidup tanpa seni itu membuat hidup ini terasa lebih mudah? Penyanyi dalam buku Mazmur di atas bisa menjadi salah satu contoh jawaban bahwa pemazmur dalam Mazmur 137 telah sampai pada suatu titik jenuh di mana semua musik telah berakhir bagi mereka, bahkan mereka menggantungkan alat musik mereka pada pohon gandarusa.
Apa yang terjadi setelah itu? Pada kalimat awal buku Mazmur itu, tertulis di tepi sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita ingat kembali Sion.Â