Hari ini saya hampir saja tidak memiliki banyak waktu untuk merenungkan suatu tema dan menuliskannya. Kesibukan dan urusan pelayanan yang mendesak lainnya seakan menghimpit waktu pribadi sejenak mampir kembali pada dinding Kompasiana. Rasa rindu, bahkan ada seorang kompasiana yang menuliskan komentarnya bahwa menulis di Kompasiana jadi semacam kecanduan. Tentu kecanduan yang positif. Saya merasakan itu, entah karena 30 hari rutin menulis, atau apa gak tahu, cuma saya sungguh merasakan bahwa seakan hidup saya tidak pernah tersisa untuk hari ini, jika saya tidak pernah menulis pada hari ini.Â
Menulis akhirnya menjadi seperti mengisi halaman kosong hidup setiap hari. Entah apa isinya, pokoknya ada saja dorongan agar halaman hidup dalam detak waktu yang terus berubah itu perlu diisi dengan kata-kata, cerita, ajakan, pengalaman, dll. Namun, tidak pula berarti sekedar ada. Adaa seorang teman yang menasihati saya pada tahun 2007 seperti ini: Jika kamu mau membicarakan sesuatu, jangan pernah lupa tiga hal ini: 1. Tujuan, 2. Pergulatan apa dan 3. Kebijakan baru itu seperti apa? Tentu, tiga hal ini bertolak dari pengalaman pribadi dan saya percaya masih ada banyak cara lainnya.
Karena itu, pada hari ini saya ingin berbagi tiga prinsip yang pernah saya pelajari dari teman saya dengan coba menulis topik "pelayanan pada perjumpaan terakhir.
1. Tujuan dari pelayanan pada perjumpaan terakhir
Sebenarnya saya sendiri tidak tahu apakah pelayanan yang saya berikan seperti mendengar cerita orang sakit pada  perhentian akhir (Paliatif station) itu adalah perjumpaan terakhir. Saya baru menyadari itu setelah keesokan harinya, ternyata dia yang menceritakan perasaan batinnya, doanya, dan semuanya adalah perjumpaan terakhir.
Tujuan pelayanan saya adalah untuk mendengar dan menguatkan orang sakit yang sendirian tanpa punya keluarga di sana. Ini adalah kisah nyata saya pada Senin, 1 Maret 2021, saya mengunjungi ibu Susana Schmidt di Rumah Sakit St. Elisabeth di Höchst, Frankfurt. Ia terlihat lesu, tak berdaya. Ya, saya bisa merasakan suatu kesendirian yang luar biasa. Semua itu bisa dimengerti, karena ibu Susana tidak memiliki anak. Sedangkan suami yang dikasihinya juga sedang dirawat di panti jompo, juga karena sakit tertentu.Â
Kenyataan menyedihkan itu berubah sekejap sekurang-kurangnya, saat ibu Susana tahu bahwa saya datang mengunjunginya. Ia bercerita tentang ungkapan hati sampai sesekali terlelap seperti tertidur, lalu bangun dan kembali bercerita. Saya berusaha dengan sabar mendengar, meskipun hati saya juga sedih melihat raut wajah yang pucat dan jeritan sakit didera kanker tulang. Ia hanya bisa mengerutkan dahinya sesekali karena begitu sakit pada bagian perutnya.Â
2. Pergulatan
Pergulatan yang saya maksudkan adalah pergulatan batin saya saat berada di samping orang sakit yang sudah tidak berdaya. Kata hati saya, "Tuhan, saya bukan seorang dokter, saya tidak tahu berapa lama lagi ia harus bertahan dengan penderitaannya seperti saat ini. Jika ia sendiri pasrah kepada-Mu, bawalah dia ke rumah-Mu dengan sukacita kasih-Mu yang maharahim." Ibu Susana kembali membuka mata, terbata-bata lanjut cerita, lalu meminta saya mengambilkan Handphonenya, lalu supaya dicas. Ia lalu memejamkan mata dan berdoa untuk MKIF, para dokter, para pelayan dan untuk pemulihan Covid-19. Sebuah doa yang indah keluar spontan dari kedalaman hatinya yang pasrah. Saya hanya bisa mendengar dan berjuang menggenggam tangannya erat-erat, "Ibu kuat ya, sembuh, sembuh...pasrah...pasrah." Maaf, saya sendiri tidak tahu entah kata apa yang boleh saya katakan pada waktu itu. Perlahan bu Susana mengatakan: Saya bahagia sekali hari ini, saya sudah mengaku, saya sudah memperoleh perminyakan suci, saya sudah menerima komuni kudus. Terima kasih mo." Saya merasakan betapa berat mendengar ucapan seperti itu. Jantungku juga berdebar, seakan saat perpisahan selamanya akan tiba.Â
Saya tertunduk dan berpikir seperti ini: siapa yang bisa tegar ketika mendengar kata-kata dari seorang yang sakit kritis pada perhentian terakhir, lalu berbaring sendiri tanpa punya family di sampingnya? Saat itu benar-benar hanya ada rasa haru dan belas kasihan, tapi juga tidak ingin berlalu hingga tanpa cerita dan kata-kata saat saya mengajaknya bicara. Oh perpisahan yang tidak mudah, mengapa saya mengalaminya? Keheningan ruang semakin menguasai hati dan pikiran saya, hingga saya hanya bisa tertunduk dan berdoa, "Tuhan , ampunilah dosanya dan terimalah dia dalam pangkuan kasih-Mu."
Suatu pergulatan antara cinta dan harus melepaskan yang dicintai. Ya, kisah ini bukan cuma kisah saya, tetapi kisah sehari-hari yang dialami beribu-ribu orang setiap hari saat ini. Seminggu, saya mendengar berita kematian teman yang punya janji, bapak Budi Arifin, sang tante yang baik, tante Agus, sang guruku, bapa Guru Don DJogo, sang anak murid yang telah menjadi pastor, P. Dion Sareng, SVD, sang bapak yang berjasa menjadi perintis Komunitas Masyarakat Katolik Indonesia di Frankfurt dan sekitarnya, bapak Franxaver, Sumardi Wirjatijasa, lalu istri dari seorang teman dekat kakaku, Wenny Utami, bahkan kemarin seorang ibu yang pernah menganggapku anaknya, ibu Susana Schmidt. Padahal, dukaku belum selesai atas kepergian kakak kandungku, Andreas Odja dan kehilangan seorang pembimbingku, Romo Prof. Dr. Berthold Anton Pareira, O.Carm. Semua itu terjadi hanya dalam beberapa bulan ini, ya kehilangan demi kehilangan terasa begitu dekat dengan keseharian hidup manusia saat ini. Inilah pergulatan yang sungguh tidak mudah. Saya masih ingin berjumpa mereka, namun mereka semuanya telah pergi dan tidak lagi kembali untuk bercerita entah kapan dan dimana.Â