Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Islam, Basodara dengan Muslim, Menulis tentang Nurcholish Madjid

27 Februari 2021   12:58 Diperbarui: 7 Maret 2021   18:04 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat saya membaca event perlombaan dengan tema: "Unity in Diversity", hati saya tergerak untuk menulis tema itu, tentunya untuk berbagi dari pengalaman. Pengalaman apa? Ya, pengalaman kebhinekaan sebagai orang Indonesia. Ada tiga peristiwa yang membuka mata dan cara pandang saya, mengapa kebhinekaan itu sangat penting.

1. Sekolah Islam

Tidak terbayangkan bahwa suatu ketika saya menikmati Pendidikan di Sekolah Islam. Tahun 1996-1999 saya terdaftar sebagai siswa pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Ende, Flores NTT. Saya adalah seorang siswa Katolik, yang semula bercita-cita menjadi seorang pastor Katolik. Namun, dalam suatu kesempatan testing masuk Seminari semacam pesantren dalam Islam, saya ternyata tidak diterima, sementara sekolah-sekolah Katolik lainnya, sudah tidak lagi menerima pendaftaran siswa baru. Hari itu, saya pernah berkeliling dengan berjalan kaki dari SMAK St. Petrus di wilayah Bandara Haji Aroeboesman Ende, lalu kembali ke SMAK Frateran Ndao Ende, keduanya saya peroleh jawaban yang sama. Saya tidak diterima. Keputusan terakhir, mampirlah saya pada ruang Sekretariat SMA Muhammadiyah di pesisir pantai Ndao Ende. Saya diterima dengan ramah tanpa pertanyaan, mengapa saya mau sekolah di SMA Muhammadiyah. Bagi saya ini poin yang penting tentang keterbukaan menerima yang lain.  untuk juga mengenal pendidikan Islam. Saya  punya alasan juga untuk sekolah lain, tetapi mengapa waktu itu saya memiliki keputusan untuk sekolah di SMA Muhammadiyah? 

Dok. SMA Muhammadiyah Ende
Dok. SMA Muhammadiyah Ende
Sebagai seorang calon siswa SMA, tentu latar belakang dan wawasan saya tentang sekolah Islam sangat sedikit. Alasan dan sekaligus adalah protes kecil dalam pikiran saya adalah pertanyaan ini: Apa yang membuat orang itu cerdas, karena nama besar suatu sekolah atau lembaga pendidikan ataukah karena kemauan baik siswa untuk sungguh belajar? 

Anggapan yang keliru tentunya, jika orang berpikir semata-mata seperti ini: Saya akan otomatis menjadi anak yang pintar, jika saya sekolah di sekolah favorit. Atau lebih konyol lagi, kalau ada yang berpikir begini: Jika saya sekolah di SMA Muhammadiyah, tentu nantinya saya akan menjadi seorang muslim. Semua anggapan ini tidak benar. Yang benar adalah selama tiga tahun di sana, saya tetap bisa mengikuti pendidikan agama saya dengan baik, bahkan itu sungguh diatur dan diperhatikan oleh Kepala Sekolah. Buktinya, sang Kepala Sekolah (1997-1999), Bapak Haji Jafar Abdulah selalu bertanya dan mencari tahu siapa yang mengikuti pelajaran agama di gereja Katedral Ende dan siapa yang tidak ikut. 

Sekali lagi perhatian seperti ini, ya dari seorang Kepala Sekolah yang muslim bagi saya merupakan suatu contoh pendidikan toleransi yang sungguh menghargai kebhinekaan di sekolahnya. Kebhinekaan tidak lagi sebagai suatu teori tinggi saja, tetapi suatu pengalaman konkret yang terjadi sehari-hari sampai dengan hari ini.

Saya sangat berbangga bahwa hubungan persaudaraan kami sejak waktu itu hingga sekarang masih saja terjalin, tentu sebagai alumni SMA Muhammadiyah. Sekian tahun telah berlalu, namun kenangan mengikuti acara halal bihalal, kenangan makan kolak pada saat buka puasa bersama teman-teman muslim, tetap saja ada, bahkan rindu juga untuk mengalami sekali lagi, jika punya kesempatan. 

Ini sebuah kisah nyata, bahwa sampai hari ini saya masih memiliki kontak yang rutin dengan mantan Kepala Sekolah saya waktu itu, Bapak Jafar Haji Abdulah. Kadang bapak Jafar meminta waktu untuk berdiskusi tentang sesuatu hal, kadang meminta dukungan doa dan pertimbangan, wah rasa haru dan bangga selalu meluap di hati saya. Ada rasa haru yang luar biasa ketika bapak Jafar bersama ibunya datang menghadiri acara syukuran panggilan hidup saya pada 3 Agustus 2008. Padahal, kami telah sekian lama hilang kontak. Saya tidak tahu, bagaimana sebagai Kepala Sekolah pada waktu itu, tetapi bapak Jafar tetap mengikuti perkembangan informasi tentang saya, bahkan hingga sekarang. Saya yakin tentunya perhatian seperti itu, dialami juga oleh teman-teman yang lain entah apa agamanya dan dari mana. Itulah cinta sang bapak yang luar biasa, bukan cuma untuk dikenang, tetapi juga harus dijadikan contoh dan teladan dalam hidup bersama di tengah kebhinekaan ini.

Pada lembaga pendidikan Muhammadiyah, saya belajar banyak tentang keterbukaan kepada yang lain, tentang hormat dan menghormati orang lain, ya tentang menghargai keyakinan agama yang berbeda dan tentu saya belajar juga tentang persaudaraan universal dan kedisiplinan. 

Mengapa suasana di SMA Muhammadiyah Ende seperti itu? Tentu alasan yang paling mendasar adalah karena wawasan  tentang kebhinekaan Indonesia yang dipahami dan dihayati secara baik oleh semua warga sekolah SMA Muhammadiyah di sana.

2. Basodara dengan Orang Muslim

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun