Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dinamika Politik Tanah Air: Dari Radikalisme ke Rasisme?

30 Januari 2021   04:56 Diperbarui: 30 Januari 2021   04:59 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ino | Ilustrasi menerobos gelombang

Hawa politik pasca pembubaran FPI terasa seperti suara ombak di tepi pantai. Deru gelombang pecah terdengar kencang, lalu hening seperti terlihat cuma buih di pesisir pantai. Namun, gelombang di lautan itu tidak akan pernah berhenti. Gelombang itu sudah menjadi satu rotasi otomatis antara datang dan pergi. Demikian pula dinamika politik tanah air saat ini.

Aroma radikalisme yang tercium sejak lama, meski tidak begitu terang dan jelas muncul di permukaan karena mengenakan topeng agama akhirnya seperti satu gelombang laut yang juga pecah dan cuma meninggalkan buih yang tidak sedap.

Buih itu diseret arus besar dari kedalaman hasrat rakyat dan bangsa agar negeri ini bebas dari paham radikal yang terus merongrong Pancasila. Cita-cita bangsa harus diakui dijunjung tinggi oleh Pancasila dan UUD 1945. Oleh karenanya, segala gerakan dan dinamika politik yang mencirikan Ideologi tertentu yang berusaha menyeret Pancasila ke pesisir eksistensi bangsa memang harus dipertanyakan bahkan harus ditindak tegas.

Gelombang radikalisme akhirnya dihapuskan dan dinyatakan terlarang di Indonesia. Selanjutnya akan muncul gelombang apa lagi? Politik negeri ini seakan tidak terpisah dari terpaan gelombang oposisi yang berwajah ganda.

Anehnya gelombang oposisi itu tidak begitu objektif dalam mendukung pemerintahan Jokowi, tetapi oposisi berwajah ganda yang berusaha mengganti nama dari radikalisme ke rasisme. Sampai kapan negeri ini akan menjadi bangsa yang maju, jika gelombang ekstrim itu silih berganti menerpa perahu bangsa yang ingin pergi ke tempat yang dalam.

Aktivis-aktivis muda yang berani bernalar sehat tidak sebanyak rakyat biasa yang kadang gampang di bayar. Jejak digital ujung-ujungnya dijerat pasal-pasal dengan maksud membungkam dinamika pencerdasan bangsa.

Berkutat dengan penggunaan kata dengan tafsiran yang membenarkan pasal-pasal hukum agar ruang penjara menjadi perhentian terakhir dari fase sebuah dinamika cara bernalar anak bangsa.

Indonesia sedang diterpa gelombang kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat tanpa etika dan tanggung jawab. Karenanya, narasi kebanyakan di media adalah provokasi, hasutan dan saling menghina.

Siapakah manusia? Semuanya adalah makhluk mulia, mengapa orang tidak saling hormat menghormati? Mungkin inilah saatnya seluruh rakyat perlu membaca dan belajar 36 butir Pancasila. Atau semuanya harus kembali ke inti ajaran agamanya. Agama yang diakui di Indonesia adalah agama cinta. Agama yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan, saling menghormati, takwa dan bijaksana dalam tutur kata dan perbuatan.

Gelombang apapun dan sebesar apa pun akan pecah dan hanya meninggal buih yang meresap dan menghilang. Akan tetapi, nahkoda yang bijak dan cerdas dia akan menaklukan semuanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun